Hujan Menghapus Senja

Jika aku hitung, mungkin sudah berpuluh kali senja berbuat semacam ini. Persis senja yang kau ceritakan padaku. Aku tidak dapat menolak cinderamata senja dari genggaman tanganmu pun kekata yang menyertainya dalam mulut manismu.

 

“Kau tahu, ini adalah senja terindah dalam hidupku. Senja yang mengantar se-nampan nikmat dari Tuhan.” Aku menelan kata-katamu penuh debar.

 

“Begitu juga apa yang aku rasakan saat ini. Semoga senja tidak cemburu pada kita saat esok ia datang lagi.” Senyum yang tak pernah kulepas selama membalas kata-kata yang kau berikan.

 

Benar terkaanku. Esoknya senja datang memurung diri. Nampak nian malas menyelimut hari. Karena ia tahu, kita memadu jiwa-jiwa dahaga. Mengisi tempayan di kolong hati kita. Sebelum kau datang, sebenarnya dia lebih dahulu melirikku sewaktu disurau. Ia selalu membersamai langkahku entah sengaja atau tidak, yang jelas dalihnya masuk akal, memang magrib adalah miliknya dan ia gegas langkah mengelambui mentari.

 

Aku baru tahu kalau ia tertarik padaku, waktu aku masih lugu-lugunya. Buah jatuh tak bertadah, ia terlambat selangkah darimu.

 

“Aku yakin senja dibakar api cemburu karena kita,” desahmu disudut daun telingaku. Aku merasakan barisan kata-kata mengalir syahdu tembus digendang telinga menjalar ke syaraf-syaraf. Setiba di akal, ia pecah menumpah sukma dalam tempayanku.

 

Aku takut. Bagaimana nanti jika senja benar-benar benci, lalu menanam kesumat. Ia akan lakukan apapun demi membayar kepedihan yang ia rasakan. Kau tahu kan? Dia punya wenang dengan daya tak bisa tertandingi.

 

Kau membalikkan badan. Mendekat. Kedua tanganmu melingkar di pinggangku. Sejurus kemudian mata kita saling beradu dibalik pantulan cermin. Segurat cahaya memantul dikedua bola matan yang bulat hitam mirip biji kelengkeng.

 

Sudah lah. Kau jangan terlalu berlebihan begitu. Sekarang ia sibuk menyusun butiran-butiran bintang, kau tahu betapa lama ia butuh waktu membentuk rasi dari sekian ribu bintang, yang digunakan para pelaut sebagai panduan berlayar mengarungi samudera. lama. Mungkin saat ini ia sibuk mencumbui pelaut itu, atau kalau tidak menina-bobo-kan para makhluk-mahkluk siang atau juga sibuk menyapih hewan-hewan nocturnal.

 

“Tapi kenapa akang begitu usil, sayang?”

 

“Maksudmu?”

 

“Akang usil. Menganggu senja bermesraan diantara kalong-kalong yang terbang berarak kearah timur.”

 

Pandanganmu tajam. Kening yang lebar itu dikernyitkan. Beberapa menit ditahan. Aura mata berubah menggali timpalan yang tepat membalas kalimatku. Air mukamu kembali berubah saat mengajak mataku melihat layang-layang yang tergeletak di samping lemari. Layang-layang hijau yang terbuat dari kertas minyak. Di pintalan berjejer dalam gulungan puluhan mata kail diantara benang tansi.

 

“Tiada hendak hati mengganggu keharmonisan mereka. Aku hanya mencari rezeki halal tanpa merusak hubungan mereka dengan cara zhalim. Tidak ada yang melarang usahaku. Baik polisi atau polisi pamong praja. Mereka angguk-angguk saja saat melihatku menaikkan layangan ditanah lapang. Bahkan kepala pamong praja memesan seekor kalong. Untuk obat bengek ibunya,”

 

“Lantas kemana perginya kalong-kalong itu sekarang?”

 

“Rupanya kau tidak tahu, kalau kalong itu terbang ke timur mencari buah-buahan. Sekarang mau ngapain lagi ke timur. Rimba-rimba telah berubah jadi pohon-pohon beton pabrik raksasa. Hanya buah kegersangan yang bisa mereka kunyah setiba disana.”

 

Dalam bias cahaya dimatamu, kutangkap kau ingin mengajak kalong hijrah jauh masuk rimba di negeri seberang. Namun sadarnya kau—kita tak punya kuasa. Inilah alam dengan resiko yang menjadi keharusan untuk diseleksi. Beruntung kalong-kalong itu menaring gigi mereka agar bisa lebih kuat bertahan hidup mengoyak buah-buah “aneh”, evolusi kata Charles Darwin saat ia menyaksikan burung yang pelatuknya memanjang di pulau Galapagos. Jika tidak demikian sulit survive dalam ring alam ini.

 

Kau lihat itu, bulan dibalik dedaunan mengintip kita dari tadi. Sepertinya ia diutus senja memata-matai kita. Lihat! Lihat ia bersembunyi dibalik awan tebal.

 

“Bukan. Bulan itu memang berteman akrab dengan senja. Tapi dia datang menemui kita dengan maksud baik, kok. Ia menyampaikan kabar baik pada kita.”

 

Tapi kenapa warnanya tampak garang begitu?

 

“Oh itu. bulan sekarang sedang dilanda musibah. Akhir-akhir ini manusia-manusia yang hidup dipabrik dan sebagai sumber penghidupan membakar lepas limbahnya ke langit melalui corong-corong yang menganga.”

 

“Apa buktinya kalau si bulan menyampaikan kabar gembira pada kita.”

 

Kau merogoh benda segenggam tangan. Jari jempolmu memencet beberapa kali. Lalu dihadapkan kemukaku tampilan layar benda itu.

 

“Ini buktinya,” kau mengurai senyum, “aku diterima kerja di tempat senja. Katanya gajinya lumayan besar meski belum ia sebut jumlahnya. Esok lusa aku sudah bisa masuk kerja.”

 

“Apa! sebaiknya kau batalkan saja. Kita masih bisa mencari kerja di tempat lain.”

 

“Hidup ini keras, istriku sayang. Mencari yang haram saja susah apalagi mencari yang halal. Cari kerja di kota ini sangat sulit, terkhusus bagi lulusan menengah atas. Mau mengikuti jejak kakekku sebagai nelayan, itu mustahil. Ikan-ikan dilaut entah dimana rimbanya. nangkap di kali? Jangan harap.”

 

Tangan yang menjembul rambatan urat-urat itu menggamit kedua bahuku. Perlahan  menggeser tubuhku menghadap dirimu. Kita berada pada satu titik garis lurus. Aku diam menunggu kata-kata apa untuk kau luncurkan. Sementara kau menuang udara cukup banyak kedalam paru-parumu.

 

Tidak. Tidak ada kata-kata dalam dirimu. Kau hanya mengulum senyum seraya mengarahkan moncongnya yang sengaja dimanyun mendarat sempurna di keningku. Satu hal yang terpatri dalam benakku bahwa sehebat apapun juga tak akan pernah mampu lepas dari cengkeraman senja.

 

Jika memanjat pohon keluarga, aku terlahir dari ras yang kata orang memiliki warna kulit paling indah—Sunda . Aku hidup berdua dengan ayah di pedalaman kampung yang masih asri dengan sengkedan sawah, kicauan kidung burung, suara jangkrik, gemuruh air di sungai. Itu semua sebelum kau ajak kita pindah ke Ibukota. Awalnya aku keberatan, dan banyak kekhawatiran menggelayut dibenak, namun perasaan itu kian meluntur setelah kau terlebih dahulu merebut hati sebelum pemuda dan senja-senja kampung dan sekaligus merenggut mahkotaku. Kau. Masih. Dengan kata-katamu meyakinkan akan menjamin hidup kita.

 

“Kita mengadu nasib disana. Jika beruntung dia akan melirik kita dan mengangkat taraf hidup dari kubangan yang mendera tubuh.”

 

Kita berangkat naik bis selepas maghrib. Keesokannya, kau mengajakku ke KUA. Merayakan benang kasih ini dalam balutan halal dimata negara dan berkah dimata agama. Esoknya lagi kau ajak aku mentahbis sore menjamah senja. Ini, kali pertama bagiku melihat senja-senja baru. Diantara lekuk senja itu, banyak yang mengutuk mengumpat pun mengelu-elu kehadiran dia. Tapi dimataku senja semakin menampakkan belangnya.

 

Memang begini wajah dia kalau hari-hari sibuk saat orang-orang mensenggamai dalam bingkai hidupnya. Jangan takut, nanti kau akan terbiasa dengan wajahnya disini. Kata-katamu menenangkanku.

 

Hari-hari naik ditangga minggu lalu melompat diserambi bulan. Kehidupan berjalan merangkak pasti namun tidak pula rebah. Beranjak senti demi senti, hajat hidup kita selalu terpenuhi. Bisa nyicil rumah. Bisa beli obat diabetes ayah. Biaya sekolah buah hati kita yang baru masuk sekolah dasar. Aku mengangguk dengan janji awal kau bisikkan padaku dulu.

 

Senja dimusim kemarau terasa sumpek. Puncak kemarau kata penyiar radio mewarta. Bau comberan menyengat disana-sini. Senja akhir-akhir ini kembali mengentuti penghuni kampung kumuh di bantaran kali ini. Angin kentutnya melahirkan nyamuk-nyamuk pembunuh yang meneror anak kita. Menjelang malam selalu terdengar dengungan mereka. Berhasil! Viona terjangkit malaria. Awalnya aku mengira hanya demam biasa, namun lama kelamaan semakin mengenaskan. Ia segera aku larikan ke rumah sakit, di off name hampir tiga minggu. Kata dokter malarianya semakin parah.

 

Selama dua minggu itu pula aku sibuk bertidur di rumah sakit. Aku khilaf. Lalai. Lupa padamu. lupa mencium tanganmu sebelum berangkat kerja. Lupa mengingatkanmu berhati-hati jalan dikala senja. Kau lebih sering bercengkerama dengan senja. Menikmati malam-malam kerjamu bersama senja dan teman-temannya. Kata ayah yang tak berdaya duduk di kursi ruang tengah, kau sering muntah-muntah pulang kerja. Kantung matamu mulai menghitam sehingga menampakkan kesan tirus ditulang pipimu. Celakanya! Baru aku ketahui setelah dua minggu lamanya kau jauh dibujuk senja.

 

Puncak turbulansi bahtera kita, aku naik pitam saat mengetahui kau menjual emas, motor, menguras uang tabungan kita dan telah menggunung kau berhutang pada kolega senja. malam itu, bertengkar hebat. Bersamaan dengan hujan pertama dimusim hujan. Aku memanjang-lebar kata-kata nasehat dan bahayanya senja, tapi kau hanya bergeming memasang perisai yang membuat hatiku semakin bergidik. Aku kembali membentang ikrar darimu dulu, tapi ternyata itu tidak mempan lagi. Tampaknya saja senja menawarkan siluet biru yang indah, namun sejatinya ia hanyalah fatamorgana kelam yang tanpa sadar meringkusmu dalam tabir gemerlapnya malam.

 

 “Jangan kang! Ini harta satu-satunya yang masih tertinggal. Kita butuh itu untuk biaya obat Viona dan ayah,” Pekikku sambil menahan tanganmu.

 

“Iya, justru itu aku gadaikan ini ke senja.” Hentakan tanganmu melontar aku hingga tersungkur di sudut meja. Kau pergi berlalu, ditelan gemerlapnya malam.

 

Sore setelahnya, senja tiba dikawal arakan awan pekat, “suamimu telah menggadaikan rumah ini—,”

 

“Dimana dia berada sekarang?”

 

“Keparat! Beraninya kau memotong ucapanku. Aku tidak tahu dimana dia sekarang, mungkin sedang sekarat dengan permainan baruku. Ha ha ha…, dia juga telah menjual kau padaku. ingat! mulai saat ini kau harus nurut kata-kataku.”

 

Senja menyeret tubuhku bersamaan dengan gelegar petir dari awan-awan pekat disampingnya. Aku dibawa kepersemayamannya merantai jiwaku dengan wenang padanya. Mungkin inilah takdirku, menjadi budak senja. Sepanjang hari dengan rantai terikat, jiwaku menjerit mengutuk siang, meronta sejadi-jadinya saat sore berlalu. Jiwaku kurus yang airmatanya tak keluar lagi mungkin karena sudah kering dihisap nista. Hari-hari aku hanya berteman dengan cicak yang lalu-lalang di dinding balkon. Aku mengadu nasib padanya, hidup menjadi cicak memang hina.

 

“Cukup kau nikmati, lama-kelamaan kau akan terbiasa. Aku yakin, tubuhmu sudah tumbuh ekor. Tangan dan kakimu kelak juga punya perekat bisa melekat dan menempel pada apa saja.” Ia tergelak sambil mengeluarkan benda hitam dan putih kecil dibawah pangkal ekornya.

 

Beringas senja kota dalam hari-hari hidupku seolah takdir yang harus aku telan mentah-mentah. Aku mulai mengorek ruang hatiku yang lugu dulu, membujuk ia kembali hadir ditengah penatnya jiwa. Malam-malam sehabis melumur birahi senja aku menceritakan segala kesuh kesah padanya, aku sering membujuknya kembali lagi dalam segala alur sendi tubuhku. Ia hanya diam seribu makna. Toh, buat apalagi harus keluar kamu sudah tamat, sekarang kau tinggal menikmati sisa takdirmu! Kalimat itu berkelindan dibenakku, setega itukah kau padaku?

 

“Sebenarnya, inilah ilmu yang berharga itu.” aku semakin tidak mengerti. Haruskah aku membunuh jiwaku lalu melemparnya kehadapan senja. Tidak perlu! Lebih kau kutuk suamimu yang dikerangkeng senja. Sarannya aku jadikan perisai agar kelak Tuhan nantinya tidak menuduhku. Kini biarlah diriku yang dibudak senja, namun sekuat tenaga gubuk yang ada dalam jiwaku akan selalu terjaga, kini hanya itu pintaku pada-Nya. Karena cahaya dalam gubuk jiwaku ada cahaya anak dan ayahku. Sementara kau, dongkol yang berkerak ini seperti stalagtit & stalagmit ini sudah aku basuh dengan asam dari air hujan asam.

 

Sampai suatu ketika, angin menggiring awan kumulonimbus tebal beradu dengan awan awan pekat milik senja. Petir menyambar diantara awan dan angin seberkas cahaya terang berkilatan menerangi alam mayapada. Jelang maghrib, air bah tumpah ruah mengisi selokan sumpek, juga menghanyutkan senja dengan segala permainannya. Senja benar-benar tak dapat berkutik. Kilatan petir menelanjangi dunia senja. Jiwaku kembali mengair. Aku berharap itu adalah kehendak anakku pada Tuhan melalui hujan.

 

(Sekarang Viona pindah sekolah masuk pesantren. Sementara aku berdagang sarapan di tepi kota asalku bersama ayah)

Share This Post: