Hadiah untuk ayah dan ibu

Bajunya yang compang camping ia kenakan dan mulai menarik gerobak keluar dari dalam sebuah pondok reot yang lantainya terbuat dari tanah. Seorang laki-laki dengan rasa tanggung jawab keluar melangkahkan kaki untuk mengais rejeki, itulah dia pahlawan penyelamat hidupku. Dia ayahku yang paling aku cintai, dengan modal gerobak dia mencari nafkah untuk istri dan anaknya. Ia mengayunkan kaki dan menggunakan tangannya untuk mengais-ngais tumpukan sampah yang sudah menggunung. Bau busuk dan serangga yang berterbangan di sekitar tumpukan sampah sudah tidak ia hiraukan lagi, itu merupakan hal biasa baginya. Sungguh pemandangan yang sangat tidak sedap, tapi apalah daya kami yang hanya orang yang jauh dari kata sederhana. Meskipun begitu kami tidak pernah berputus asa dan selalu berdoa kepada tuhan agar suatu saat nasib kami dapat berubah menjadi sebuah kehidupan yang layak. Sehingga ayah tidak perlu lagi bersusah payah mendorong gerobak dan mengorek tumpukan sampah. Siang itu ayah pulang dengan wajah murung seperti menandakan ada sesuatu yang tidak berkenan di hatinya “ayah, kenapa? Kok ayah sedih gitu?” tanyaku dengan nada menenangkan.

“Riva sayang, maafkan ayah ya nak… hari ini ayah nggak bisa bawakan kamu makanan nak”. Ayah menjawabnya sambil meneteskan air mata. Ayah merangkulku dan berjanji bahwa besok ia akan memberikan makanan untukku. “Nak hari ini hasil jerih payah ayah di rampok orang sewaktu ayah akan pulang membelikan Riva makan, maafkan ayah ya nak. Ayah sudah membuat anak ayah satu-satunya merasa kelaparan”. Ibu pun datang dan ikut merangkulku, kami bertiga menangis dalam rangkulan ayah. Hari ini aku tidak ada makan apapun, jadi aku mengganjal rasa laparku dengan meminum air putih sebanyak-banyakaknya. Meskipun sebenarnya rasa lapar ini tidak akan hilang tapi dengan terpaksa aku harus menahan rasa lapar, sebab aku tau bahwa ayah tidak mendapat rejeki hari ini, aku hanya bisa meneteskan air mata karena rasa lapar yang menggeranyam. Perut kecilku berulang kali berbunyi nyaring, ku pegangi perutku yang terus bersorak-sorai sambil memejamkan mata yang mulai terasa mengantuk, cukuplah dengan membayangkan sesuatu hidangan yang lezat untuk memuaskan fantasi. Keesokan harinya ayah kembali lagi bekerja seperti biasa memunguti sampah yang bisa ditukar dengan uang. Sesekali jika ayah ada rejeki lebih ayah biasanya membelikan kami lauk ikan asin. Sebenarnya aku ingin sekali makan ayam goreng seperti anak-anak lainnya tapi aku sadar dengan nasibku, oleh karena itu aku tidak pernah meminta sesuatu yang ayahku tidak bisa melakukannya. Untuk bisa makan saja rasanya sudah Alhamdulillah, aku juga ingin sekolah tapi ayah dan ibu tidak ada biaya untuk menyekolahkanku. Entah akan seperti apa nasibku di masa depan aku juga tidak tau. “buk.. nanti kira-kira ayah pulangnya bawa makanan untuk Riva nggak ya buk..?”

“ya doakan saja ayahmu membawakan makanan ya sayang, sudah 3 hari ibu juga tidak bisa menerima pesanan cucian karena ibu nggak ada sabun buat nyuci. Semoga ayah kamu ada rejeki hari ini ya nak, jadi ibu bisa terima cucian lagi, kamu doakan saja sayang semoga Allah senantiasa memberi kesehatan kepada ayah dan juga ibu, selagi kami berdua masih hidup dan sehat Insya Allah kami akan selalu berusaha membahagiakan Riva”

“Riva selalu mendoakan ayah dan ibu setiap sholat. Riva janji sama ayah dan juga ibu kalau suatu saat Riva akan memberi kehidupan yang layak, nggak kayak hidup kita yang sekarang buk, Riva bakal bikinin ayah dan ibu rumah mewah yang bertingkat”

“ia sayaang… semoga impian dan doa kamu terkabul sayang… Riva nanti kalau udah besar mau jadi apa sayang?”

“buk… Riva mau jadi orang sukses buk, ibu mau nggak naik haji?”

“siapa siiiiih yang enggak mau naik haji nak? Pasti ibu dan bapak mau”

“Insya Allah Riva akan bikin niat ibu terwujud”

“aamiin” sambut ibu mengaminkan.

Rasanya aku bosan di rumah terus, jadi aku pergi keluar untuk mencari angin sambil menghirup udara segar, langkahku terhenti di depan rumah tetanggaku begitu aku melihat acara lawakan dalam sebuah acara televisi. Aku menonton acara tersebut sambil tertawa melihat tingkah konyol mereka. Aku ingin punya TV seperti anak lainnya tapi orang tuaku tidak bisa membelikannya jadi aku terpaksa menonton di rumah tetangga, itupun hanya berdiri diluar jendelanya, aku tidak di perkenankan masuk dan duduk didalam rumah karena pemilik rumah menutupnya dari dalam. Jika pemilik rumah menutup jendela tentu aku tidak bisa menonton lagi. Memang sedih rasanya, orang lain menonton sambil berbaring atau pun duduk di kursi sofa, sedang kita hanya bisa mengintip-intip dari luar. Mungkin jika mereka tau rasanya bagaimana berada diposisiku tentulah mereka tidak akan membiarkan aku berdiri bagaikan patung. Saat aku sedang melihat tayangan si pemilik mematikan televisinya, kecewa memang, kita sedang enak-enakan menonton tapi malah dimatikan televisinya. Mau bagaimana lagi? TV bukan punya kita. Sore harinya ayah pulang dengan membawa sebuah kantong plastik berisi beras dan satu ekor ikan asin “Riva, sayaaang… anak ayah” teriak ayah dari kejauhan dengan nada merayu menandakan ada kabar menyenangkan. Aku berlari ke arah ayahku, ayah menangkap dan menggendongku “Ayaaahhh…. Buuukk, ayah udah pulang” teriakku pada ibu yang sedang tidur dengan lelapnya. “Riva, liat ini nak.. ayah tepati janji ayah kemarin kan? Ayah hari ini di beri Allah rejeki nak, jadi ayah bisa beli beras dan ikan buat anak ayah dan juga ibu kamu”

“Ia yah.. makasih ya yah, ayah memang hebat… saaayang ayah”.

Dari dalam gerobak ayah mengeluarkan sebuah benda yang berbungkus kertas karton “Ayah itu apa?”

“ini naak.. ayah tadi menemukan Radio, jadi ayah bawa pulang. mudah-mudahan Radionya masih bagus ya nak.. jadi Riva ada hiburan di rumah, biar nggak sumpek. Hanya saja batrainya nggak ada nak, jadi nanti biar ayah belikan batrainya selesai mandi”

Aku sangat berterima kasih kepada ayah atas kado yang dia berikan untukku hari ini, meskipun hanya barang bekas setidaknya aku telah memiliki satu barang elektronik. Walau hanya radio yang mungkin sudah bisa dikatakan barang jadul oleh sebagian masyarakat, tapi bagiku ini sangatlah berharga. Apalagi yang memberikannya adalah ayah yang selalu bekerja keras demi kebahagiaanku. Disaat anak-anak zaman sekarang sibuk dengan ponsel, gadget, smartphone dan i-phone, aku hanya bisa menikmati hiburan lewat radio butut pemberian ayah. Melalui radio butut ini jugalah aku bisa mendengarkan kabar berita, ceramah, dan music setiap harinya. Aku sering mendengarkan nyanyian dan shalawat sehingga aku suka mengikuti suara lantunan yang berisi puja puji kepada sang maha kuasa. Setiap hari ayah bekerja mengorek dan memunguti tumpukan sampah demi sesuap nasi, tak tahan rasanya bathinku melihat nasib yang tak jua berubah. Laki-laki yang ku panggil dengan sebutan ayah kini kulitnya mulai berwarna gelap, keriput, dan kesehatannya juga tak sebagus dulu, tulang-tulangnya mulai terlihat jelas dengan balutan kulit yang semakin berkurang ketebalan dagingnya. “Pilu.. sangat memilukan ya Allah” jerit bathinku. Kini pria malang itu telah tergeletak tak berdaya di atas hamparan tikar usang robek berwarna coklat. aku terus memanggilnya ayah, ayah dan ayah, akan tetapi dia hanya bisa diam tak mengeluarkan sepatah kata, sesekali hanya terdengar bunyi seperti desisan dari mulutnya. Orang-orang mengatakan ayahku terkena struk, ada juga yang mengatakan ayahku terkena ilmu mahluk gaib. Aku tidak tau persis penyakit apa yang sebenarnya menimpa ayah. Seiring bertambah tuanya usia orang tuaku, tentu aku pun juga semakin dewasa dan kini aku telah tumbuh menjadi seorang anak gadis yang aktiv mengaji dan menyelenggarakan acara keagamaan di masjid. Ku langkahkan kaki menuju masjid, mengambil wudhu’ dan mulai bersujud memohon petunjuk dan ridho-Nya. Aku percaya setiap masalah ada jalan keluarnya, habis gelap terbitlah terang. Tanpa terasa setitik air jatuh berderai mengalir di sela hidung, aku menangis? Ya mungkin memang ini yang aku butuhkan saat ini, sebuah tangisan untuk meredakan rasa sedihku atas musibah yang sedang menimpa ayahandaku tercinta. Memang menangis bukanlah cara menyelasaikan masalah dan juga bukan jalan untuk bisa keluar dari masalah tapi dengan menangis setidaknya emosi yang meluap dalam hati dan benakku kini tersalurkan. Hari ini ada pengajian di masjid, jadi aku ikut pengajian bersama. Pada saat pengajian sedang berlangsung aku merasa sepertinya ada seorang pria paruh baya yang terus saja memperhatikan dan memandangi wajahku. Aku sedikit merasa risih, sebab biasanya tidak ada yang pernah memandangiku seperti ini. Aku bergegas pulang untuk merawat ayahku yang sedang sakit. Aku terus memikirkan bagaimana nasibku, aku berdoa dan selalu bekerja keras demi ayah dan ibu. Aku memiliki keahlian menjahit, jadi aku gunakan kepandaian itu untuk membantu perekonomian keluarga, meskipun itu hanya menjahit dan meminjam mesin tetangga dan hasilnya pun tentulah juga dibagi dua, tapi tidak mengapa bagiku karena aku bersyukur masih bisa mencari rejeki yang halal untuk orang tuaku tercinta. Dulu merekalah yang bekerja keras untuk diriku, sekarang giliran aku yang harus menghidupi mereka. Sembari menjahit aku biasanya menyanyikan shalawat dan menyanyikan lagu-lagu religi. Rasanya begitu sejuk ketika aku menyebut asma Allah. Ketika sore hari datang, aku bergegas menuju masjid dan mengaji hingga selesai shalat isya’, selesai shalat maghrib berjamaah kami mengaji seperti rutinitas biasa. Lagi-lagi pria yang kemarin ada disini dan terus saja memandangiku hingga pada saat selesai shalat Isya aku keluar dari masjid dan dengan tidak sengaja aku berpapasan dengan pria tersebut, dia memegang pundakku dari belakang sehingga membuat langkahku terhenti “ada apa ini?” bisik hatiku merasa kawatir. Cemas bukan kepayang karena takut dan aku juga tidak mengerti apa maksud pria ini memegang pundakku. Orang itu memintaku untuk melihat kearahnya, begitu kepala ku tolehkan kearahnya dia memberikan aku senyuman tipis dibibirnya. Dia ingin mengutarakan maksud hatinya padaku tapi aku memperingatinya agar jangan menyentuh aku yang bukan muhrimnya. Dia tersenyum lagi padaku dan menyampaikan maaf padaku atas perlakuan yang menurutku kurang berkenan dihati. Dia menanyakan alamat dan menanyakan perihal pekerjaanku, aku sampaikan padanya dengan jujur bahwa aku adalah seorang tukang jahit, dia memujiku sambil memberi kartu namanya. Orang tersebut memintaku untuk datang ke alamat yang diberikan, aku tidak tahu mengapa ia meminta aku datang ke alamat tersebut, tapi yang aku tau dialamat ini tertera sebuah nama alamat studio. Yang terlintas dalam benakku kenapa orang paruh baya itu memintaku datang, sedangkan kemarin ia menanyakan pekerjaan dan aku hanyalah seorang tukang jahit, apa hubungan tukang jahit dengan datang ke studionya? Apakah ia akan menawarkan aku untuk bekerja disana? Banyak pertanyaan yang muncul dalam fikiranku. Esok harinya untuk mengobati rasa penasaranku, pergilah aku ke alamat yang telah diberikan. Tempatnya tidak jauh dari desaku, aku kesana menggunakan jasa ojek. Sesampai disana aku bertemu langsung dengan pria yang kemarin, orang tersebut mempersilakan aku duduk dan mengajakku berbincang-bincang. Mungkin memang inilah yang dinamakan kuasa Illahi, melalui pengajian tersebutlah jalan-Nya menunjukkan ladang rejeki kepadaku. Tidak pernah terlintas dalam benakku untuk menjadi seorang penyanyi Islami. Hanya karena bapak tersebut mendengar suaraku yang terdengar indah ditelinganya ia mengontrakku menjadi penyanyi. Hari ini merupakan sebuah kabar gembira bagi ayah dan juga ibu. Hari berganti hari dan bulan berganti bulan, aku telah memiliki cukup uang bahkan uang ini mungkin lebih untukku, aku membawa ayah berobat, dan ayah sudah tidak separah dulu, ibu juga sehat wal’afiat. Sekarang kami tidak lagi tinggal dirumah lama kami, aku telah membeli sebuah rumah mewah untuk ayah dan juga ibu sesuai janji yang pernah aku katakana kepada ibunda tercinta. Semua ini tidak akan terjadi tanpa izin dari-Nya dan merupakan doa dari kedua orang tuaku. Alhamdulillah…

Share This Post: