Jodoh Lima Langkah

 

"Kapan kamu punya istri seperti teman-teman sebayamu yang lain, Dan? Mereka bahkan sudah punya anak satu atau dua. Sedangkan kamu? Anak kucing saja tak punya." begitulah pertanyaan retoris yang kerap diajukan bapakku. Pertanyaan wajib yang beliau utarakan tiap kali kepulanganku ke kampung halaman. Bosan memang mendengarnya, namun sebagai anak semata wayangnya tak pernah sekali pun aku berani menyanggah. Apalagi setelah kepergian ibu dua tahun yang lalu, bapak mulai sering sakit-sakitan. Dan mungkin semakin merindukan kehadiran menantu atau pun seorang cucu.

Usiaku sudah kepala empat tahun ini, memang kuakui tak lagi muda, namun bukan hal mudah untukku mencari pendamping hidup seperti yang diharap bapakk. Akulah satu-satunya keturunannya yang masih juga belum menunaikan kewajibanku menikahi seorang perempuan yang diharapkannya selama ini. Sedangkan dari keluarga paman dan bibiku, saudara dari pihak bapak maupun dari pihak ibu, mereka sudah mempunyai cucu, bahkan bukan hanya satu. Anak-anaknya yang rata-rata menikah di usia muda dan tinggal di desa kerap mempercepat masa nikahnya. Ah bapak, memangnya mudah mendapatkan calon yang baik dan saleha zaman sekarang?

Sebagai manager di sebuah perusahaan ekspor-import yang baru berkembang dan beranjak menuju titik kemajuan yang signifikan beberapa tahun ini, tentunya aku tak punya cukup waktu luang untuk mencari pasangan. Meski tak pernah kusangkal, beberapa perempuan sekantor memperlihatkan minat mereka untuk kusunting sebagai pendamping.

 

***

 

"Denger ya Dan, kalau kamu lekas punya istri, hidup kamu bakal tenang dan nyaman. Ada perempuan yang telaten menjaga dan mengurusi kamu setiap hari. Tiap pagi menyuguhi kamu sarapan, dan secangkir kopi. Kamu bakal nyesel setengah mati kalau masih tenang-tenang saja di usiamu sekarang. Senyum manis seorang istri di pagi hari, melebihi manisnya gula manapun di kolong langit ini." ujar bapak masih dengan provokasi dan propaganda yang beliau usung selama ini.

Aku menghela nafas panjang. Hari ini sudah kutekadkan untuk membahagiakannya. Apapun caranya. Selagi masa liburan masih panjang, tak ada salahnya menuruti keinginan beliau mencari jodoh di kampung halamanku ini. Tentu saja bapak sangat senang mendengarnya. Tanpa pikir panjang, segera beliau memberiku daftar nama untuk segera kudatangi. Beberapa nama yang ada di sehelai kertas yang diberikannya tak lain adalah sahabat-sahabat dekatnya yang mempunyai anak gadis yang sudah memasuki masa siap dipinang oleh seorang lelaki. Ya sudah, dengan ucapan bismillah segera kukendarai mobilku menuju alamat demi alamat yang direkomandasikan bapakku.

 

***

 

Alamat pertama yang kudatangi adalah rumah Haji Rustam. Beliau seorang pengusaha ternak ayam yang terbilang cukup sukses di desaku. Anak keduanya baru saja selesai mengenyam pendidikan di sebuah pondok pesantren. Naila, nama gadis manis berkerudung panjang itu. Siang itu, sengaja oleh ayahnya disuruh menyajikan minuman dan makanan ringan sebagai penganan juga teman berbincang antara aku dengan ayah dan ibunya di ruang tamu.

Haji Rustam sosok yang selalu ceria dan pandai bicara. Beliau adalah sahabat dekat bapakku. Tentu saja niatku bersilaturahim beliau sambut dengan baik. Apalagi dengan niat mencari pasangan hidup, Haji Rustam begitu bersemangat menjodohkan aku dengan Naila. Namun menurut beliau, ada kekurangan yang dimiliki anak gadisnya itu yang harus kuketahui. Dengan rasa penasaran, segera kuutarakan pertanyaan mengenai hal itu dan jawabannya sungguh membuatku tercengang.

Naila semasa belajar sebagai santriwati di pondoknya ternyata seorang atlet seni bela diri silat dan taekwondo. Bahkan prestasinya di kedua seni beladiri itu, menghantarnya sebagai penyabet medali emas di turnamen tingkat nasional. "Sebenarnya ini bukan kekurangan kali ya, Nak Dani? Melainkan kelebihan Naila, anak saya itu kalau ngambek atau kaget sedikit saja suka respect menggunakan jurus-jurus yang dikuasainya. Jadi bapak khawatir, Nak Dani nanti kaget." ujar Haji Rustam sembari menanti kedatangan Naila, anak keduanya itu. Tak lama kemudian, gadis berjilbab panjang dan bergamis itu muncul sembari menenteng baki berisi beberapa toples makanan kecil dan beberapa gelas minuman.

Naila ternyata gadis yang manis. Benar kata bapakku, nama-nama yang tertera di daftar yang diberikannya bukan sembarang gadis. Haji Rustam lantas memperkenalkan aku pada anak gadisnya itu, kami hendak bersalaman meski kedua tangan tak saling bersentuhan. Tak kusangka Haji Rustam rupanya punya rencana di balik keramahannya.

"Astaghfirullaaaaah! Nak Dani ada kecoa tuh di kemejamu!" teriak Haji Rustam. Dan tak kusangka, gadis manis berkerudung panjang itu serta-merta bergerak cepat menarik sebelah tanganku dan membanting dengan jurus bela dirinya. Alhasil, aku yang sama sekali tak ada kesiapan terpelanting dan terguling di atas lantai ruang tamu. Tak hanya sampai di situ, sebelum tubuhku mendarat di lantai, kakinya bergerak cepat menyapu pergelangan kakiku dan dilanjut menghantam tubuhku dengan pukulannya yang keras dan telak. Aku terkapar. Megap-megap. Tinggal Naila yang celingak-celinguk memeriksa kemejaku. "Kok ga ada kecoanya, Ayah? Sudah kabur kali ya?" tanyanya lugu.

 

***

 

Pengalaman pertama menuruti kemauan bapak, kaki juga tanganku patah dan bengkak-bengkak. Seorang tukang pijat dan ahli urut suruhan Haji Rustam yang mengaku tak enak hati telah membuatku cedera atas ulah isengnya mengagetkan anaknya, Naila. Selama dua hari berturut-turut tukang urut datang dan merawat tulang kaki dan tanganku. Bapak yang mendapati aku seharian hanya terkapar tak berdaya di tempat tidur tak henti meledek.

"Sama perempuan saja sampai knock out gitu, gimana kalau ikutan pertarungan kayak di acara TV orang barat, bisa jadi tempe bacem kamu, Dan!"

Aku cuma bisa geleng-geleng kepala mendengar cibiran dan ledekan bapakku. Kupingku memerah tiap kali Bapak menggangguku dengan ledekannya.

"Aku ini pekerja kantoran Pak, bukan tukang berantem. Lagian siapa pula yang sanggup melawan anaknya teman bapak itu, dia atlet bela diri nasional. Wajar saja kalau aku bonyok begini."

"Ya sudah, kamu ini laki-laki, ga usah merengek gitu, bikin malu bapakmu saja. Besok kamu lanjutkan silaturahim ke alamat-alamat yang ada di daftar nama itu." ketus Bapak lalu berbalik menuju ruang belakang, mengurusi ayam-ayam jago kesayangannya. Aku garuk-garuk kepala tak gatal. Kupandangi sehelai kertas pemberiannya, masih terdapat empat nama lagi yang belum kudatangi. "Ya Allah, beri hamba kekuatan. Semoga tak ada lagi gadis yang menghajarku sampai bonyok gini..." bathinku lirih.

 

***

 

Pagi berikutnya, kendaraan roda empatku kembali melaju di atas jalanan berbatu menuju desa sebelah. Nama yang tercatat adalah Haji Rahman seorang guru mengaji sekaligus pengusaha tambak ikan yang sukses. Sudah berkali-kali naik haji dan kerap mengisi ceramah di Mesjid Jami yang dibangunnya. Menurut bapakku, Haji Rahman memiliki seorang anak gadis yang masih belum mendapatkan pasangan. Katanya baru setahun lulus dengan cumlaude dari sebuah universitas terkenal di kota sebelah. Hmm, boleh juga. Pasti anaknya selain pintar, rajin, juga ulet makanya mendapat predikat sebaik itu. Dan aku pun semakin bersemangat mengemudikan laju mobilku.

Penghuni rumah yang terbilang paling mewah di kampungnya itu menyambutku dengan keramahan dan kehangatan yang berlebihan. Bagaimana tidak? Baru niat bersilaturahim saja di halaman rumah telah dipersiapkan iringan para santri dan santriwati dengan tetabuhan rebana menyambut kedatanganku layaknya seorang pejabat penting saja. Aku yang kikuk setengah mati hanya tertegun seraya ngangguk-ngangguk menikmati iringan rebana sebelum sang punya rumah menyeretku ke ruang tamu.

Sama halnya dengan Haji Rustam, Haji Rahman pun seorang yang ramah dan pandai berbincang. Setelah ngaler-ngidul membicarakan usaha yang kugeluti, serta rencananya kembali naik haji tahun depan, entah yang keberapa kali, saatnya tiba mengenalkan anak gadisnya padaku. Tak seperti Naila yang berhasil menghajarku dengan telak, anak gadisnya yang bernama Gina mempunyai sifat yang tertutup. Dengan kaca mata tebal yang bertengger di hidungnya yang tak mancung, pakaian yang dikenakannya pun cukup sederhana, berbalut kaos bergambar animasi dan over all.

Ketika sengaja ditinggal berdua di ruang tamu, akhirnya perbincangan kami seputar dunia pendidikan. Teknik kimia yang menjadi jurusan studinya membuatku merasa jadi makhluk terbodoh di planet bumi ini. Apa itu reduksi atom, reaksi senyawa antar benda yang memengaruhi sifat benda itu sendiri, hingga ke masalah bocornya lapisan ozon dan berbagai nama zat oksidan berbahaya yang belakangan ini menjamur di berbagai makanan instant. Aku hanya bengong mendengarnya memaparkan semua hal itu. Hingga saatnya kepulanganku, dengan kembali diiringi tetabuhan rebana. Oh, Tuhan begitu sulitnya hamba-Mu ini menemukan seorang calin istri yang cocok dengan sifat dan kepribadianku, kembali bathinku merintih.

 

***

 

Enggan pulang ke rumah dengan membayangkan reaksi bapakku yang hanya membuatku makin tak enak hati, maka nama ketiga pun segera kudatangi.

Adalah Pak Fauzi, tokoh masyarakat yang disegani di kampungnya. Beliau selain pernah menjabat sebagai kepala desa dengan periode yang cukup lama, juga seorang penggemar tanaman hias hingga membentuk sebuah komunitas dengan beliau sendiri sebagai ketuanya. Anak gadisnya yang bernama Lina, tak jauh dengan ayahnya dalam hal hobby. Lina yang hanya pernah mengenyam pendidikan sebagai lulusan SMU lebih senang menghabiskan waktu dengan tanaman-tanaman hias yang memenuhi pekarangan rumahnya. Bahkan, ketika kami sengaja ditinggalkan di sebuah taman di belakang rumah yang asri dan ditata sedemikian rupa hingga membuat betah.

Lina memperkenalkan satu persatu nama tanaman hiasnya padaku. Yang lebih membuatku merasa aneh, ia asyik dan anteng berbincang dengan tanamannya itu. Menanyakan perihal sifatku yang sebenarnya pada sebuah bonsai beringin tua, atau mengajukan pertanyaan bagaimana perkembangan perusahaanku ke depan, maju atau mundur pada sebuah tanaman berdaun aneh. Aku kembali garuk-garuk kepala tak gatal. Gadis aneh ketiga yang harus kutemui demi menuruti pada kemauan bapakku. Dan sebelum aku pulang, Lina memberiku sebuah tanaman kecil berdaun lentik yang dia namakan 'Penjaga Hati' katanya agar hatiku senantiasa dilindungi dari kegundahan dan kemuraman. Aneh-aneh saja.

 

***

 

Tinggal beberapa hari lagi liburanku setelah lebaran di kampung halaman segera habis. Bapakku masih bermuram durja karena usahaku mencari pasangan hidup belum menemukan hasil yang diharap. Bahkan, terakhir kemarin dengan ditemani bapak yang memaksa ikut, kami menemui sahabat lamanya seorang pensiunan tentara. Mayor Husni, nama beliau. Anak gadisnya yang paling bungsu kebetulan masih lajang dan belum mempunyai pendamping. Bapak bilang, aku pasti cocok dengan yang satu ini. Selain pintar masak, dia juga rajin membantu ibunya yang memiliki sebuah usaha catering yang cukup terkenal dan mereka kelola bersama.

Namun seperti dugaan dan firasat yang tak enak sebelum berangkat, saat dikenalkan dengan anak gadis bungsunya yang sedang sibuk masak di dapur, muncullah seorang gadis berperawakan selayak pegulat Jepang. Dengan berbalut celemek bergambar bunga lily, tangannya yang gemuk menggenggam erat tanganku hingga hampir saja remuk rasanya.

Ini yang bapakku bilang pasti cocok? Sudah kuduga, karena sosok ibuku yang bapak cintai setengah mati hingga setelah meninggalnya enggan mencari pengganti, sama persis dengan Julaikha, nama gadis gemuk itu. Tentu saja bapak uring-uringan setelah aku dengan tegas menolak dikawinkan dengan Julaikha. Tak terbayang olehku berdampingan dengan gadis yang berat tubuhnya tiga kali lipat dari berat badanku. Bisa remuk tubuhku kalau harus menggendongnya jika suatu saat nanti dia sakit atau pingsan.

Bapak bilang, aku terlalu pemilih. Aku bilang, aku tipe yang selektif dalam memilih pasangan. Akhirnya semalaman kami hanya saling diam, tak bertegur sapa. Makan pun masing-masing tak lagi duduk bersama di meja makan, menikmati sajian masakan yang sengaja dibawakan Julaikha yang keasinan. Puiiih.

 

***

 

Tinggal satu nama yang tersisa di sehelai kertas itu. Pak Mochtar, seorang guru seni rupa di sebuah sekolah menengah swasta yang berada tak jauh dari, desaku. Konon, Pak Mochtar ini masih kerabat dari pihak ibuku. Beliau memiliki seorang anak gadis yang belum menikah.

Tapi aku sudah lelah untuk beranjak menemuinya. Desa tempat tinggalnya terbilang paling ujung berada di barisan perbukutan yang butuh sekitar dua jam perjalanan menempuhnya. Dengan tegas, aku menolak untuk beranjak kesana. Dengan alasan harus segera masuk kantor demi mengurusi berbagai hal yang sebenarnya tak perlu kuurus, akhirnya seharian aku hanya ngendon di kamar.

Demi membunuh kebosanan iseng menelpon beberapa teman sekantor yang masih menikmati masa liburan dengan keluarganya. Malah membuatku semakin nelangsa karena liburanku hanya berisi serangkaian silaturahim dengan menemui gadis-gadis aneh, bahkan yang berhasil menghajarku dalam sekali pukul. Suara adzan dzuhur mengalun dari pengeras suara mesjid, segera aku beranjak untuk, mengambil wudlu seraya menyempatkan berdoa dengan khusyu sebelum berangkat ke mesjid yang tak jauh dari rumahku.

Sepulang dari mesjid beriringan dengan bapakku yang masih menampakkan wajah kesalnya, sebelum menginjakkan kaki di halaman rumah, perhatian kami terpaut pada sebuah mobil pick up yang diparkir di depan rumah kami. Serta keberadaan tiga orang yang menunggu di ruang teras rumahku. Bapak yang terkejut oleh kedatangan tamu segera menyambut mereka dengan senang hati. Seorang lelaki berusia limapuluhan beserta istrinya, ditemani seorang gadis berusia dua puluhan dengan mengenakan kerudung biru.

Ternyata beliau-lah Pak Mochtar dan keluarganya yang sengaja mampir ke rumah kami sepulang bersilaturahim ke rumah mertuanya yang sedang sakit. Tentu saja bapak terlihat senang. Apalagi setelah bertemu dengan Wulan, anak gadis yang hendak dikenalkannya padaku. Ternyata Wulan seorang pengajar honorer di sekolah yang sama dengan ayahnya mengajar. Pak Mochtar yang jarang bertemu denganku setelah sekian lama tinggal di ibu kota sangat senang bisa kembali berjumpa. Beliau bilang, dulu sewaktu aku masih berusia belasan beliau sering menemui ibuku dan masih mengingat rupaku yang masih polos kala itu.

Perbincangan pun akhirnya berlanjut pada topik yang telah menjadi pokok bahasan, yakni perjodohanku dengan Wulan. Gadis berparas putih dan cantik itu hanya menundukkan muka saat kedua orang tuanya mengemukakan maksud kedatangannya. Entah, tak seperti dengan pertemuanku sebelumnya dengan keempat gadis yang kudatangi rumahnya, kali ini jantungku berdetak dengan kencang. Hatiku berdesir tiap kali beradu pandang dengan gadis berbulu mata lentik itu. Hingga ketika bapak dan Pak Mochtar bertanya perihal kecocokanku pada niat mereka menalikan tali besanan, aku menjawabnya dengan gugup. Hingga akhirnya aku menganggukkan kepala, siap melangsungkan pernikahan dalam waktu dekat.

Bapak terlihat sangat bahagia, begitu pula dengan Pak Mochtar beserta istrinya. Wulan yang duduk di sudut ruangan pun tak mampu menyembunyikan siratan rasa bahagianya lewat sinar matanya yang berbulu lentik. Ya Allah, doaku akhirnya terjawab sudah. Jodohku akhirnya datang sendirinya tanpa perlu aku jauh-jauh mencari dan menemuinya.

 

***

 

Perhelatan pernikahanku dengan Wulan berlangsung dengan meriah dan sedikit aneh. Selain musik hiburan tradisional yang mengiringi acara, tetabuhan rebana dan sholawatan pun mengalun dengan meriahnya, rupanya Haji Rahman turut memeriahkan perhelatan dengan menampilkan santri-santrinya dengan tetabuhan rebana. Begitu pun Haji Rustam, yang mengerahkan sahabat-sahabat Naila ikut memeriahkan dengan demonstrasi seni bela diri silat dan taekwondonya. Keseruan yang dinikmati oleh seluruh undangan yang hadir. Tak lupa Pak Fauzi dan Lina yang menghiasi ruang perhelatan dengan tanaman-tanaman hiasnya. Dan terakhir Mayor Husni tak mau ketinggalan menjadi pemasok catering dengan masakan Julaikha yang keasinan. Seru bukan?

 

***

Share This Post: