BLUS PUTIH

Perempuan itu cantik, meski usianya tak lagi terbilang muda.Ia terus mengoceh di depanku dan aku terjerat di hidung mancungnya yang menyisakan jejak segores luka sayatan pada pangkal batang. Sesekali tatapanku jatuh pada bagian dada.Blus sutra putih yang dikenakannya pasti berharga cukup mahal, dengan jahitan halus dan rapi, hingga jatuhnya sempurna pada lekuk bukit dada.Aku menyimak kata-katanya dan memindahkan pada block note kecil dengan tulisan cakar ayam berkode-kode, yang hanya aku dapat memahaminya.

Ia terus berbicara, bahkan ketika pelayan datang dan meletakkan menu pesanan kami dengan tergesa. Sepercik jus buah naga yang terlempar dari bibir gelas akibat kesembronoan pelayan, melekat di blus putihnya. Ia tak menyadari karena terus saja berbicara, tentang seperti apa seorang perempuan harus berlaku di masyarakat, tentang seperti apa seorang perempuan harus berpenampilan, tentang seperti apa seharusnya perempuan di mata lelaki dan entah tentang apalagi yang tak terlalu kusimak karena perhatianku terisap oleh bintik merah muda di blus putihnya. Dan pelayan yang gugup karena menyadari bercak merah muda itu gegas berlalu setelah meletakkan seluruh pesanan.

Aku menatap punggung pelayan yang berlalu terburu-buru dengan gemas.Mestinya aku meneriakkan namanya, memintanya kembali dan menuding kesalahannya.Lalu memanas-manasi perempuan itu agar meminta ganti rugi. Ah, bukankah begitu biasanya yang termuat pada kisah-kisah di ranah sosialita?

“Kamu tahu, Dik, perempuan itu harus kuat.Jangan cengeng.Jangan suka galau.Ayolaah, apa sih yang tak bisa kita lakukan tanpa lelaki?”

Ketika mengatakan kalimat itu ekspresi wajahnya kuat sekali. Sepasang matanya memercikkan letupan api yang kentara. Aku tercenung sesaat, sebelum matanya kembali tenang seperti desir riak danau. Dan aku memindahkan ekspresi itu dalam block note, pada sebuah sketsa apa adanya.

“Silakan diminum dan dimakan, Dik.”Disorongkannya piring oval berisi potongan croissant ham ke hadapanku.

Ia tersenyum manis dan meraih gelas jus buah naganya. Bibirnya menyeruput jus dari sedotan bergaris putih merah dengan gerakan anggun. Kukira ia sudah bertahun-tahun mempraktekkan cara minum yang baik, sebagaimana diajarkan dalam berbagai kursus table manner.

Aku menyesap cappuccino lamat sembari kembali memerhatikan bintik merah muda di blus putihnya.Blus itu bercacat kini, desahku dalam hati.

“Kamu sudah menikah?”

Ia menatapku sejurus sembari mengetuk-ngetukkan cincin emas yang melingkar di jari manisnya ke tubuh gelas.Berdenting-denting suara logam mulia menerabas keheningan.Café ini sunyi sekali, pikirku sembari mengedarkan pandang ke sekeliling ruang.

“Sudah, Mbak.”

“Masih?”

“Tidak.”Aku mencoba tersenyum saat mengatakannya, meski hatiku mendingin seketika.

Ia mengulurkan tangan dan meraih telapak tanganku, lalu membelai bagian punggungnya dengan lembut. Kutatap matanya dan mendapati danau beriak di sana, meski hilang sekejap pada beberapa kedipan.

“Jangan merasa lemah.”

“Tidak, Mbak,” kataku sembari menarik tangan halus, merasa risih. Kuharap ia tak tersinggung.

Ia terlihat memaklumi dan menarik tangannya kembali. Ponselnya berdering.Matanya melirik sekilas ke layar.

“Sebentar, ya?”Ia meraih ponsel dan bangkit dari duduk.Melangkah sedikit jauh dari meja kami dan bicara dengan suara lirih.Wajahnya terlihat serius.Beberapa kerut tercetak di sudut matanya.Ia memang tak sepenuhnya muda seperti kata orang-orang, kata para sejawat yang pernah mewawancarainya.

Kukira tadinya ia akan duduk kembali dan kami akan melanjutkan obrolan-entah tentang dia atau aku- lalu menandaskan minuman dan memesan piring kedua croissant ham.Entah berisi lembaran daging sapi atau ayam. Tapi yang dilakukannya adalah bergegas membereskan barang-barang kecilnya –ponsel, pena, dompet kecil gantungan kunci dan sebungkus tisu.

“Saya terburu-buru, Dik.Bisa kita lanjutkan wawancara ini esok hari?”

“Bisa, Mbak. Masih santai kok,” sahutku sigap dan cepat berdiri di samping meja.

“Maaf banget, ya?Aduh, ini barusan ada panggilan dadakan.Kamu tenang saja minum di sini.Saya duluan, ya?”Ia menepuk bahuku dan berlalu tanpa menunggu jawaban.Blus putihnya menahan pandanganku hingga tubuhnya lenyap di balik pintu.

*****

Ponselku berdering pagi-pagi sekali. Aku masih pulas ketika kemudian tersentak oleh dering tanpa jeda, memekik-mekik di dekat telinga. Tiba-tiba aku menyesal meletakkan benda itu di samping bantal.

Dengan kelopak mata yang masih sulit mengerjap kutempelkan benda berlayar 5 inchi itu ke telinga. Sontak sapa halus dari seberang membuat mataku terbuka lebar dan menghujam jarum jam di dinding yang menunjuk ke angka lima.

“Baru bangun, ya? Ah, maaf banget, Dik. Saya mengganggu di pagi hari.”

Aku mengubah posisi tubuh dari berbaring menjadi duduk bersandar pada head bed.Kutahan untuk tak menguap terlampau lebar. Aku menunggu kalimat lanjutannya tanpa merasa perlu berbasa-basi mengatakan,”Ah, takapa, Mbak. Santai saja.”Toh, sejujurnya aku memang merasa terganggu.

“Bisa kita bertemu di café biasa sejam lagi?”

Aku berpikir sesaat. Kalau diminta menjawab jujur, tentu saja aku akan menolak. Tapi entah kenapa yang kujawab kemudian,”Baiklah, Mbak…”Memang lidah tak bertulang, rutukku sembari membuang selimut ke sudut ranjang.Sepasang celana dalam tergeletak di dekat kakiku, bergulung-gulung oleh sebab tangan-tangan yang tak sabaran.

Aku beranjak meninggalkan pakaian luar dan dalam milikku yang berserakan di lantai.Menuju kamar mandi yang riuh oleh guyuran air.

Kami bertemu tepat sejam kemudian. Berbeda dengan pertemuan sebelumnya, kali ini ia tampil tanpa riasan tebal. Wajahnya hanya menyisakan jejak tipis bedak dan seulas lipstick berwarna nude brown.Ia terlihat pucat.

Diulurkannya tangan dan meraih telapak tanganku.Sepasang matanya memelas.Saat itulah aku mendapati bayangan lebam di pelipis kanannya, yang sedikit tersamar oleh jurai rambut poni.

Ia menggenggam tanganku erat. “Maukah kau membantuku?”

Aku mengernyitkan dahi.Mencoba membaca matanya.

“Ada apa, Mbak?”

“Maukah kau memintanya untuk melepaskanku?”

Aku memandang perempuan berwajah memelas di depanku dengan hati gundah.

“Kenapa?”

“Karena aku ingin bebas.”

“Kenapa?”

“Karena kukira ia bukan orang yang tepat seperti yang pernah kukira.”

Aku ber-ooh pelan dan mengaduk-aduk cappuccino di gelas dengan sendok yang dentingnya tak kusembunyikan.Tentu saja bukan kusengaja.Melainkan tangan kiri yang tak pernah sempurna merupa tangan dewa.

“Kenapa aku?”

“Kupikir ia akan menurutimu.Ia selalu tertarik dengan perempuan misterius.”Aku tertawa lirih.

“Aku?Misterius?”Kutunjuk dadaku.Ia mengangguk.

Ia melepaskan genggamannya dan meraih telinga cangkir. Menyesap coffee latte-nya yang mulai dingin.“Ya, kau misterius.Terlihat rapuh, tapi aku tak yakin begitu.Kau kuat.Bahkan mungkin cenderung sedikit kejam.”

Aku mendengus. Kalimat terakhir diucapkannya dengan tekanan yang lebih dalam, seakan ia telah mengenalku cukup lama, bukan hanya dalam dua tiga sesi wawancara.

“Aku tak mengenalnya,” tukasku sembari menekan rasa tersinggung.

“Kau tak perlu terlalu mengenal kalau hanya untuk membuatnya melakukan apa yang kau inginkan.”Perempuan itu mengeluarkan sebatang rokok putih dari kotaknya. Aku tak memerhatikan kapan ia mengambil benda itu dari dalam tas.

“Merokok?”Ia mengangsurkan kotak rokok ke hadapanku. Aku menggeleng dan mengembuskan napas panjang.Kuseruput cappuccino-ku dengan terburu.Lalu berlalu tanpa mengucapkan sepatah kata.

“Tunggu di tempat ini pukul empat sore esok hari. Tolonglah..”Aku masih menangkap kata-kata yang diucapkan dengan suara berat di balik punggungku. Pun juga isaknya tak berapa lama kemudian. Tak kusesali untuk tak menoleh atau menyurutkan langkah. Meski setelah ratusan langkah menjauh dari pintu café, aku menyesal tak ingat ia mengenakan baju apa. Masihkah baju putih dengan bintik merah muda bebercak jus buah naga?

*****

Sudah satu jam berlalu, dan kami masih terdiam. Ia memandang ke arah kasir perempuan berambut ikal pirang di sudut ruangan. Dan aku mencermati penyanyi café yang sejak tadi menyanyikan lagu-lagu lama dengan penuh penghayatan.Sedikit tak lazim bila disandingkan dengan usianya yang terbilang muda. Atau ia mengira itu lagu-lagu favorit sepasang tamunya yang terlihat pas dari taksiran usia, yang sejak tadi lebih sibuk dengan pikirannya sendiri ketimbang.

“Kau punya rokok?” tanyaku memecah keheningan. Lelaki itu tergagap sesaat sebelum meraba saku kemejanya dan mengeluarkan kotak rokok dari sana, berikut mancis mungil berwarna hijau. Aku terkesiap.Ia mengangsurkannya padaku.

Aku mengambil sebatang dan menyalakan dengan gemetar.Mancis hijau jatuh dari genggamanku yang rapuh.Aku mengisap rokok dengan gugup di bawah hujaman tajam sepasang mata.Berikutnya aku terbatuk hebat. Segelas air putih tiba di depan wajahku, bersama pemilik tangan yang memegang tubuh gelas. Aku menyambar gelas, meneguk isinya dan mengembalikan gelas kosong.Tengadah memandang wajah di depanku dengan kesal.

Ia tersenyum. Dan itu semakin membuatku marah.

“Kau tak perlu merokok di depanku kalau kau bahkan tak sekalipun pernah menyentuhnya.”

“Kurasa mengenalmu lebih serupa kutukan ketimbang anugerah.”Ia terbahak.

“Bukankah itu membahagiakan?”Aku mendengus keras.

“Kalau kau ingin aku kembali, tak perlu meminta padanya.Kau bisa meneleponku.”

“Aku sudah membuang nomormu.”

“Oh ya?Aku tak percaya.”Aku melotot.Ia menyeringai dan aku terpaksa mengaku kalah. Ia selalu tahu.

“Kau ingin aku kembali?”

Aku terdiam sesaat sebelum menggelengkan kepala.

“Lantas?”

Aku menelusuri wajah di depanku dengan tatapan tajam sebelum beralih pada penyanyi café yang mengerling ke arahku.

“Aku ingin baju putih miliknya.” Sepasang alis lelaki di depanku bertaut.

“What?”

“Ya, itu yang kuinginkan.Bukankah baju itu yang pernah kau janjikan padaku dulu?”Aku menelan ludah dengan hati getir.Lelaki itu ternganga.

Aku bangkit dari duduk.Seorang lelaki tiba, berjalan dari ambang pintu café dan berjalan lambat menuju ke arahku.Ia tersenyum lebar. Aku melangkah ke arahnya.

“Kutunggu.Oh ya, mancis ini ku ambil kembali,” kataku berbisik, sedikit membungkuk ke dekat telinganya, mengacungkan mancis hijau lalu meneruskan langkah.Lelaki yang berjalan ke arahku cepat menarik tubuhku ke pelukannya, membawaku berlalu.Meninggalkan tubuh yang terpaku di salah satu kursi dan penyanyi café yang mengubah haluan tembangnya.

“Kau suka?”Seorang lelaki bertanya pada perempuan di sampingnya, yang pandangannya tak lepas dari blus putih berbahan halus di tubuh manekin yang bergaya di etalase.

Perempuan itu mengangguk.

“Aku harus mengencani perempuan tua kaya untuk bisa membelikanmu blus seperti itu,” kata lelaki itu sambil tergelak. Udara basah musim penghujan menghentikan tawa lelaki itu ketika perempuan di pelukannya berkata,”Lakukanlah..”

Share This Post: