Kepulangan

 

Berlari Ainun. Kakinya yang telanjang menapaki tanah desa yang lunak, licin, dan cokelat sore itu. Berbelok ke kiri melewati mushola yang sepi tanpa penghuni. Berbelok lagi ke kanan melewati sebuah lio tua berdebu yang terlihat lengang. Warna langit yang merah mendung adalah warna bathinnya. Gerimis yang merintik adalah air matanya. Berlari ia untuk bisa segera sampai. Untuk segera membuncahkan segala rucah pilu yang telah menyayat dawai jiwanya.

 

Dan ketika sebuah pintu rumah dari gedek bambu telah ia lewati, Ainun segera mendapati pangkuan seorang perempuan renta. Kain batik yang dipakainya sudah tak jelas lagi warna. Di sana ia membanting selembar tubuhnya yang lunglai. Tenaganya yang masih tersisa telah dihabiskan untuk melengkingkan jeritan;

 

"Maaaaak...!" selebihnya adalah isakan tangis yang lirih tertahan dan pilu. Mak Rus, perempuan tua yang telah mengeriput kulit di hampir seluruh tubuhnya itu, semakin berlipat kulit di keningnya. Tak dimengertinya sikap gadis perawan, cucu satu-satunya, bahkan satu-satunya darah-dagingnya di muka bumi ini yang tiba-tiba berubah seperti itu.

 

Sewaktu ia keluar dari rumah beberapa saat lalu masih didengarnya nyanyian kecil dari bibir Ainun. Wajah sumringahnya begitu jelas terlihat ketika ia berpamitan untuk keluar sebentar menemui teman-temannya di lebak, tempat biasa ia dan teman-teman berkumpul melepas kepenatan setelah seharian disibukkan oleh kerja mencari sesuap nasi.

 

Hari-hari terakhir ini memang seharusnya menjadi hari-hari penuh sumringah dan keceriaan bagi para gadis penjaja nasi uduk di kawasan galian, sebuah bukit tandus yang kini habis terkikis pepasirnya diangkut truk-truk besar menuju kota.

 

Senyum terkulum selalu tampak melekat di bibir Ainun. Sesuatu yang wajar dinikmati oleh seorang gadis yang akan menghadapi saat paling indah dalam kehidupannya, yaitu menikah dan menjadi istri bagi laki-laki yang sangat dicintainya. Imran, sang kekasih telah melamar Ainun sebagai bukti rasa cintanya. Telah ditetapkan pula tanggal hari bahagia itu. Satu hari di pekan depan keduanya akan menikah.

 

Maka kegembiraan dan kebahagiaan mana lagi yang bagi gadis desa sepertinya yang bisa melebihi keindahan menunggu datangnya saat-saat tersebut? Tapi kini tiba-tiba di atas pangkuannya yang rapuh itu, cucu tercintanya itu tampak nelangsa dengan tangisnya yang ngenes memilukan.

 

Persoalan apa gerangan yang tiba-tiba datang menyergap sang cucu semata wayangnya, satu-satunya sandaran hidup di hari senjanya itu? Melihat bagaimana nelangsanya tangis sang cucu, tak sampai hati perempuan tua itu mengutarakan pertanyaan. Dibiarkannya gadis itu menuntaskan tangisnya. Hanya jari tangannya yang merapuh mengelus rambut sang cucu untuk mencoba mengurai kegalauan hatinya.

 

Kepergian Ainun ke kawasan penggalian, selain ingin menemui teman-teman, juga dimanfaatkan untuk mencari berita tentang kang Imrannya. Sudah lebih dari sepekan calon suaminya itu sibuk tenggelam dengan pekerjaannya menggali dan menyedot pasir dari balik bebatuan dilereng tebing yang sudah berubah menjadi palung yang dalam.

 

Sesuatu yang sebenarnya tidak lazim dilakukan seorang calon pengantin. Ainun sebenarnya sudah berusaha mencegah, tapi Imran bersikeras untuk berkerja lembur. Dan hari-hari ini menurut perhitungan dan kebiasaan para penggali, pengangkut, dan para sopir truk pasir di kawasan bukit itu adalah saatnya gajian.

 

Ia telah membayangkan sosok kang Imran-nya yang gagah, dengan kulit yang legam karena sengatan matahari, dan tubuh belepotan lumpur, akan tampil penuh cercahan cahaya kebanggaan dengan hasil jerih payah yang diperolehnya demi mewujudkan impian indah mereka. Di lebak itu Ainun memang mendapatkan sedikit hiburan. Senda-gurau, atau lebih tepatnya olok-olok dari teman dan orang-orang yang ada di sana tentang statusnya yang calon pengantin. Semua itu ditanggapinya dengan hati berbunga. Terlebih lagi karena tempat itu menyenangkan sebagai tempat niis.

 

Angin dari bukit yang berhembus di antara batang-batang pohon bambu yang meriapkan daun-daunnya cukup membuat perasaan menjadi nyaman. Sesekali matanya memandang ke lembah, pada para penggali. Hatinya pun menunggu dengan penuh harap.

 

Dan sore itu seperti sangkakala yang menjerit merobek langit, semua orang yang berada di sekitar kawasan penggalian maupun yang sedang niis di sisi bukit dikejutkan oleh suara gemuruh yang runtuh. Palung-palung di sekitar penggalian ambruk tiba-tiba, suara teriakan bersahutan. Para penggali berlarian menyingkir. Ribuan ton pasir ambruk seketika.

 

 

 

***

 

 

 

"Longsooor! Lari semua, cepat lariii!" seperti semut yang digebah sebentuk tangan ghaib, semua penggali lari berhamburan, tak lagi peduli pada cangkul, linggis, mesin penyedot air, dan peralatan lainnya.

 

Selembar nyawa lebih berharga untuk diselamatkan daripada itu semua. Ainun dan beberapa gadis sebayanya terlonjak kaget. Sedangkan pasir-pasir itu masih bergemuruh, runtuh, menimbun seluruh yang ada di sekelilingnya.

 

Di pangkuan rapuh mak Rum, ketika isak tangisnya terasa semakin lirih, perempuan tua itu tak henti-henti mengelus rambut hitam Ainun, sambil mencoba mengetahui duduk persoalan yang dihadapi cucunya itu.

 

"Istighfar nyai, istighfar..." ujar Mak Rum, sambil tangannya menepuk-nepuk punggung gadis itu. "Persoalan apa sebenarnya yang sedang kamu hadapi sehingga bathinmu nelangsa seperti ini?"

 

"Kang Imran, Mak, Kang Imran..." dan tangis Ainun meledak lagi. Kali ini bahkan lebih histeris.

 

"Imran?" kening Mak Rum berkerut lagi. "Ada apa dengan Imran-mu? Bukankah calon suamimu itu sedang menggali pasir di kawasan? Atau dia sudah pulang dan menyakitimu? Apa dia datang dan membawa gadis lain?"

 

"Tidak, Mak Rum," seorang laki-laki tiba-tiba telah berdiri di ambang pintu.

 

"Karta?" Mak Rum mengenali laki-laki itu. Karta adalah ayah kandung Imran, dan Imran adalah anak laki-laki yang selalu dibanggakannya.

 

"Apa yang kau ketahui tentang Imran dan persoalan cucuku ini?" tanya Mak Rum.

 

"Imran..." seperti ragu Karta mengungkapkan sesuatu. Nada suaranya yang penuh getar kepiluan ditekannya semampu yang ia bisa.

 

"Anakku Imran tidak akan pernah kembali."

 

"Apa maksudmu Karta?" suara Mak Rum bergetar. Dari mata tuanya tampak sinar kecemasan yang amat sangat. Karta kemudian menuturkan sebuah cerita, tentang kejadian longsor di kawasan penggalian pasir yang terjadi satu jam yang lalu. Setelah lebih dari seminggu Imran dan kawan-kawannya sesama penggali pasir kerja lembur mengeruk, melobangi, dan menyedot pasir dari dasar palung-palung bukit yang selama ini dijadikannya sumber penghasilan.

 

Lubang demi lubang mereka gali untuk dikeruk pasirnya, lantas disedot dengan alat penyedot air ke atas permukaan bukit untuk kemudian diangkut dengan truk-truk pasir milik juragan yang mempekerjakan mereka. Tanpa memerhatikan bahaya yang mengancam keselamatan para penggali, juragan pasir yang gila keuntungan itu pun terus memerintahkan untuk menggali dan mengeruk dari lubang-lubang bukit terdalam hingga bukit yang sudah terlampau sering dilubangi dan dirampok pasir-pasirnya itu pun ambruk, runtuh, menimpa dan menimbun para penggali yang tak sempat menyelamatkan diri dari dalam lubang-lubang penggalian. Dan Imran salah satu di antaranya.

 

"Sekarang, para petugas kepolisian berdatangan untuk mengamankan situasi, mereka masih belum menemukan tubuh Imran dan beberapa kawannya yang tertimbun tanah. Hingga sekarang pun, mereka masih belum ditemukan." suara Karta tertelan gumpalan kesedihannya.

 

Tangis Ainun belum mereda. Ia yang masih menelungkupkan wajahnya di pangkuan Mak Rum, tiba-tiba merasakan tengkuknya menjadi dingin, sedingin es batu. Bukan karena jemari Mak Rum yang mengeriput yang kini basah dipakai menyeka air matanya. Bukan pula angin senja dari jendela yang berhembus mengabarkan seleret duka. Ainun hanya merasakan sebuah usapan lembut di tengkuknya. Serta bisikan serupa riapan suara angin yang menyuarakan sebentuk kalimat dingin;

 

"Maafkan akang Nun, akang ternyata harus pulang. Maafkan akang…"

 

Di luar, gerimis telah berubah menjadi hujan. Anginnya berhembus kencang, petirnya menggelegar. *** (Rie)

Share This Post: