TIGA KEMATIAN

Tiga bayangan berkelebat menghampiri rumah Saidah siang ini. Mereka bergandengan dengan wajah datar dan membeku. Serentak ketiganya mengacungkan kepalan tangan ke pintu, lalu menggerakkannya berulang-ulang. Semakin lama semakin cepat. Wajah ketiganya terlihat mulai tak sabar.
    Saidah membuka pintu tergopoh-gopoh. Ketukan deras di pintu memaksanya untuk bergerak lebih cepat.
    "Ya..ya..ya, tunggu sebentar."
    Pintu terkuak. Saidah sudah bersiap-siap menyapa ketika ia tak menemukan siapapun di depannya. Tak seorang pun. Hanya angin yang berkesiur sejenak di hadapannya, lalu menerobos masuk seperti anak badai. Saidah sedikit terhuyung oleh lesatan angin yang entah darimana muasalnya.Ia mengerutkan kening kebingungan.
    "Bagaimana kita harus memberitahukan kepadanya?" Kematian Pertama berbisik ke telinga dua saudaranya.
    "Tentu dengan bahasa yang dapat dipahaminya." sahut Kematian Kedua sambil duduk menyandar di kursi goyang. Ia meletakkan kedua tangannya di sisi kursi dan mulai menghela. Uh, rasanya nyaman sekali.
    "Bahasa yang dapat dipahaminya? Bagaimana caranya? Apa kita harus belajar bahasa manusia dulu? Gawat, bisa terlambat. Ketiga mayat tak dikenal itu akan dikuburkan tanpa identitas, tanpa upacara. Bukankah itu menyedihkan?" Kematian Ketiga urun bicara.
    "Ah, Kau! Bagaimana mungkin kau masih bisa memikirkan kesedihan? Bukankah kita memang simbol kesedihan? Tak ada yang dapat membayar kesedihan akibat kematian orang-orang yang dicintai. Tidak uang, karangan bunga maupun upacara. Bahkan do'a." sergah Kematian Pertama.
    "Lalu bagaimana?" kejar Kematian Ketiga.
    "Pikiiirrr!! Nanya melulu."
    Saidah masih sibuk berpikir. Siapa yang tadi mengetuk pintunya dengan begitu keras dan bertubi-tubi? Ia bahkan merasa bukan hanya ada satu kepalan yang mengetuk, melainkan enam kepalan tangan. Begitu gaduh. Lantas kemana pemilik ketukan itu sekarang? Hanya satu dua orang yang melintas di depan rumahnya. Begitupun kendaraan.
    Jalan di depan rumah Saidah bukanlah jalanan utama di kota besar. Hanya jalan pintas dari lembah menuju pasar desa. Saidah juga tak memiliki banyak tetangga. Yang terdekat hanya tiga rumah, itupun dipisahkan oleh sekitar dua puluh meter lahan terlantar yang ditumbuhi semak belukar. Satu rumah di sebelah kanan dan dua rumah di sebelah kiri.
    "Siapa yang mengetuk tadi? Tak mungkin aku salah dengar," gumam Saidah seraya melayangkan pandang ke seberang jalan. Ia menunggu barang sejenak, mungkin saja si pemilik ketukan akan kembali. Sayangnya, tidak.
    "Hmm.., aku akan membiarkan pintu ini terbuka saja. Agar tamu yang ingin bertandang tak sungkan," putus Saidah kemudian. Ia masuk ke ruang dalam dan membiarkan daun pintu tetap terbuka.
    Saidah menuju dapur, melintasi Tiga Kematian yang saling melempar pandang. Ia merapatkan kerah kebayanya dan membetulkan letak jilbab. Di luar matahari bersinar begitu nyalang dan menyilaukan, namun mengapa rumahnya terasa sejuk bahkan dingin? Bukankah biasanya atap seng rumah yang tanpa lapisan plafon itu sangat membakar di tengah terik cuaca begini? Toh, kondisi itu tak membuat Saidah berlama-lama mematung dan berpikir. Mungkin telah terjadi perzinahan cuaca. Terkadang panas menyengat tanpa ampun, kali lain dingin menggigit hingga ke tulang.
    Saidah melirik jam dinding dengan gelisah. Hari hampir senja, mengapa mereka belum juga pulang? Ia melempar pandangan lurus ke arah pintu. Tak ada ketukan, tak ada bayang-bayang. Tak ada apapun di sana. Kemana mereka bertiga?
    Tadi pagi, suaminya berpamitan pada Saidah untuk keluar sebentar ke desa tetangga. Ada urusan niaga yang mendesak untuk diselesaikan. Saidah mengangguk paham. Suaminya bukan pegawai negeri atau pekerja kantoran di perusahaan besar. Hanya seorang pedagang daging yang penghasilannya tak menentu. Kadang bisa besar, namun tak jarang juga sangat sedikit.
    "Aku takkan lama," janji lelaki itu pada Saidah yang mengiringnya hingga ke pintu depan. Lagi-lagi Saidah mengangguk.
    Dua orang bocah yang berlari-larian memasuki halaman segera menyita perhatian Saidah, pun suaminya.
    "Ayah mau ke mana?" tanya yang berkuncir begitu melihat ayahnya mendorong motor.
    "Ikut, Ayah," timpal yang seorang lagi. Sepasang mata bundarnya memohon dengan sangat.
    "Ayah ada urusan sebentar. Kalian di rumah saja temani Ibu."
    "Kami ikut, Ayah." Si mata bundar mulai merengek. Diikuti oleh si rambut kuncir.
    "Ah, kalian ini. Kenapa harus selalu mengikuti ayah, sih? Kalian bermain sajalah di rumah."
    "Nggak mau.."
    "Nggak mau.." Keduanya mulai menangis. Lelaki itu bingung. Ia menatap Saidah seolah memohon jalan keluar.
    "Kami takkan nakal, Ayah."
    "Iya. Kami takkan meminta apa-apa."
    "Kami hanya duduk di samping Ayah saja kok."
    "Sudahlah, Yah. Ajak saja anak-anak. Kasihan..," anjur Saidah. Tak sampai hati ia melihat kedua anak itu merengek-rengek dengan wajah memelas. Suaminya menghela nafas berat.
    "Baiklah. Kalau begitu, cepat naik ke boncengan. Ayah tak bisa berlama-lama. Ini urusannya dengan orang lain." Kedua kakak beradik itu segera meloncat ke boncengan dengan wajah gembira. Asyikk.., jadi juga jalan-jalannya, batin keduanya..
    Lelaki itu membawa motornya melaju kencang, membelah jalanan desa yang tak terlalu mulus. Beberapa kali motornya oleng, nyaris jatuh karena ban yang terburu memasuki lubang besar. Untunglah masih bisa dikendalikan.
    Kemana mereka? Saidah kecut menatap langit yang mulai kelam dan suasana di luar rumah yang semakin temaram.
    "Mungkin kita harus mencoba memberitahunya melalui tanda-tanda semacam apalah. Pokoknya yang bisa membuat ia sadar bahwa sesuatu telah terjadi." Kematian Kedua memandang Saidah dengan iba.
    "Apa yang bisa kita lakukan? Menjatuhkan foto suami dan anak-anaknya? Atau meniupnya dengan kencang hingga terdampar di depan kamar mayat rumah sakit?" Kematian Ketiga menjawab sekenanya. Sesungguhnya, mereka bertiga bukanlah makhluk yang memiliki kekuatan ajaib untuk melakukan hal-hal seperti yang dikatakannya.
    Ketiga Kematian hanyalah penyampai kabar kematian yang melayang bersama embusan angin, berkelebat di sekeliling tubuh, berputar-putar dan meniup tengkuk para kerabat yang ditinggalkan. Hal-hal yang mereka lakukan itu akan  menimbulkan ketidaknyamanan, hati yang berdesir dan pikiran yang menerawang. Terkadang mereka juga memasuki dunia mimpi orang terdekat, menambat pesan. Itulah yang kerap disebutkan sebagai firasat.
    Saidah semakin gelisah. Malam turun sempurna beriring rinai hujan dan kesiur angin yang menusuk tulang. Saidah merasa sedikit aneh dengan prilaku angin yang mengitari dirinya. Ia tak melihat daun benar-benar gemerisik, tak juga dahan benar-benar berayun, namun di sekitarnya angin berputar-putar menggigilkan, menusuk hatinya. Saidah merasa, sesuatu telah terjadi!
    Jarum jam yang berdetak di tengah keheningan dan beratus tanda tanya di kepala benar-benar menyiksa. Saidah menggigit bibirnya. Kemana mereka? Ia bertanya tanpa henti pada apapun yang berada dalam jangkau pandangannya. Pada dinding, kaca jendela, pintu, kursi dan langit-langit kamar.  Makanan yang terhidang di meja sudah dua kali dihangatkan, tapi ketiga belahan jiwanya tak juga tiba. Deru motor suaminya mengiang-ngiang dari tempat jauh. Saidah termangu.
    Kantuk yang berulang datang, berulang ditampik. Namun semakin ditolak, semakin erat menggantungi kelopak mata. Saidah tak ingin menyerah pada kantuk yang begitu semena-mena menginjak-injak kelopak matanya. Ia takut tak mendengar ketukan di pintu nantinya. Suami dan anak-anaknya pasti kedinginan di luar sana, bahkan bisa jadi kehujanan. Masuk dengan segera ke dalam rumah dan merasakan kehangatan yang menenteramkan tentu menjadi keinginan terbesar mereka. Saidah tak ingin tertidur. Meski toh, ia tak mampu juga memenangkan pertarungan itu. Saidah pulas di  atas ranjang. Tiga Kematian menatap perempuan itu dengan iba.
    Saidah tidur begitu nyenyak. Ia bermimpi aneh. Ia melihat suami dan kedua anaknya tertawa riang di halaman rumah. Mereka bergandengan tangan sambil sesekali melambai pada Saidah. Mereka terus begitu hingga beberapa lama, kemudian berbaring telentang di depan pintu. Ketiganya tertidur pulas. Saidah mencoba membangunkan. Namun tak seorangpun dari mereka yang terjaga. Saidah mulai panik. Ia memanggil-manggil mereka, sambil mengguncang-guncangkan tubuh. Tak seorangpun membuka mata.
    "Salima! Samira! Ayah!"
    Berulang-ulang Saidah memanggil ketiganya. Tak seorangpun yang hirau, seakan tersedot ke alam tak terjangkau. Saidah menangis. Ia menangis, memekik dan histeris. Buliran keringat dingin mengucuri wajahnya yang pias, berbaur dengan air mata yang mengalir kian deras. Saidah menjerit menyayat hati. Di hadapannya membentang kenyataan yang ingin dipungkiri, ia sendiri saja lagi. Tanpa siapa-siapa.
    Tiga Kematian terenyuh menatap Saidah yang tidur dengan gelisah. Ia berguling ke kanan dan ke kiri dengan cepat. Kelopak matanya yang masih terpejam acap mengedip-ngedip resah. Sesekali ia meneriakkan nama anak dan suaminya.
    "Bagaimana ini? Aku tak tega melihatnya," kata Kematian Pertama dengan prihatin.
    "Ya, kasihan sekali dia. Tapi tugas kita hampir selesai. Begitu ia memutuskan mencari tahu perihal suami dan anak-anaknya, kita akan pergi meninggalkan rumah ini," timpal Kematian Kedua.
    "Aku hampir menangis," keluh Kematian Ketiga.
    "Ah, Kau! Kenapa begitu sentimentil? Kita sudah menghadapi hal seperti ini jutaan kali." Kematian Kedua tampak kesal, meskipun kedua matanya juga terlihat berkaca-kaca. Ia kesal ditakdirkan sebagai pembawa pesan kematian.
    Saidah terjaga tiba-tiba, didahului lengkingan suaranya yang menyeru nama kedua anaknya. Saidah menatap sekitar. Ranjang, dinding, jendela dan langit-langit kamar. Ia masih sendiri. Tak ada siapa-siapa. Saidah menyusut sisa air mata di pipinya. Ia menangis barusan? Oh, Saidah teringat mimpinya. Saidah terisak kembali.
    Namun sebuah kekuatan yang datang perlahan mendorongnya untuk beranjak dan melangkah ke luar kamar. Ia kembali mengedarkan pandangan dan mengembuskan napas. Ditatapnya nanar jam dinding yang melekat di atas lukisan kaligrafi. Pukul 04.15.
    Saidah melangkah mendekati pintu depan dan membukanya dengan jantung berdegup kencang. Angin pagi yang dingin, aroma tanah basah dan dedaunan yang mengilap berlomba mengucapkan selamat pagi. Saidah tepekur. Dari jauh derum suara motor dan derai tawa kedua anaknya menyusup telinga Saidah, menyulut kerinduan dan seulas senyuman.

Share This Post: