Perang Besar

ORANG-ORANG berkerumun di belakang  gudang tekstil milik Bun Cai. Sebuah kenderaan patroli polisi kota mendekat. Mobil ambulance menyusul dan parkir tepat di depan mobil patroli kota.  Seorang polisi turun dari mobil patroli, menenteng megaphone. Dengan pengeras suara itu  ia memberi instruksi kepada kerumunan warga.

 “Bapak-bapak, Ibu-ibu tolong mundur dan jangan menyentuh apa pun !” serunya.
Sejurus kemudian, beberapa polisi memasang police line di sekitar lokasi kejadian. Kerumunan warga merenggang  beberapa langkah. Dari celah kerumunan warga, tampaklah seonggok tubuh lelaki berpostur tegap terkulai di atas tanah. Tubuhnya penuh luka  berlumuran darah. Lehernya nyaris putus. Tampaknya baru diiris senjata tajam, mungkin sejenis pisau. Atau, bisa jadi digorok  kelewang.

Beberapa petugas mengambil  sidik jari mayat lelaki itu dan petugas lainnya  memungut benda-benda di sekitar mayat yang diperkirakan bisa dijadikan alat bukti terkait kejadian itu.
“Astaga, itu si Godam! Ya, Godam teman kita!” pekik seorang pemuda yang baru datang tergopoh-gopoh menyibak kerumunan warga. Matanya merah saga.

Sekilas tampak kurang tidur. Maklum, hari-hari ini situasi kota memang mencekam. Setiap malam  sebagaian warga tidak tidur untuk ronda malam. Mereka berjaga-jaga bila kerusuhan pecah lagi. Pertikaian antar kelompok massa di kota itu sering terjadi dan selalu saja mengancam rumah-rumah penduduk tak bersalah.  

“Ini tidak bisa didiamkan, kita harus segera buat perhitungan !” bisik pemuda itu kepada temannya yang ikut menyaksikan jenazah Godam diangkat polisi ke atas tandu. Pemuda mata merah tadi sempat mengekor iring-iringan mobil polisi dan ambulance yang mengangkut mayat Godam.

Godam adalah penjaga gudang tekstil milik Bun Cai, taipan dermawan mitra usaha Donggala salah seorang tokoh perpengaruh di kota itu. Godam, korban kesepuluh yang ditemukan tewas terbunuh di kota itu dalam sepekan terakhir. Rata-rata korbannya tewas dengan kondisi mengenaskan. Kepala terpenggal, tubuhnya penuh bekas tusukan senjata tajam.

Perang antar kelompok massa setahun terakhir, merupakan teror mengerikan warga kota. Polisi kota meningkatkan patroli setiap malam. Mereka  masuk lorong ke luar lorong. Tapi perang pecah lagi setelah polisi pergi. Tawuran berpindah-pindah tempat. Sudah menjadi rahasia umum, mereka yang sering tawuran selalu dari dua kubu yang itu ke itu juga. Kubu Donggala dan Gelengga, dua pemimpin  ormas pemuda yang disegani.

Perseteruan kubu keduanya berlangsung sejak lama. Mereka saling mengintip dan saling menyerang. Kalau malamnya ada penyerangan dari salah satu kubu, keesokan paginya warga kota dipastikan geger menemukan mayat lelaki bersimbah darah. Kalau tidak di selokan di belakang gudang. Kalau tidak orang-orangnya Donggala, ya orang-orangnya Gelengga. Pertikaian dua kelompok itu sering meletus  secara sporadis di berbagai kawasan kota.

Warga kota sering membicarakan ihwal perseteruan Gelengga dan orang-orangnya dengan Donggala dan orang-orangnya. Sejauh ini, warga hanya mengingat akibat yang ditimbulkan saja. Setahun terakhir, seratus rumah terbakar, seratus warga kota meninggal, duaratus luka-luka.

Hampir setiap hari koran lokal menyiarkan kabar pembantaian yang berlatar belakang ‘perang’ kedua kubu itu. Aparat kota menangkapi beberapa orang yang dianggap biang kerusuhan, tapi tidak menghentikan  ‘perang’ itu. Bila ada seorang mati, seorang ditangkap karena dituduh membunuh. Namun sepuluh lainnya mendendam musuh yang membunuh teman mereka dan mengobarkan perang baru. Seiring perputaran waktu, dendam mereka berantai dan menjadi dendam kelompok yang kian meluas.

Mereka dendam karena kawan dibunuh lawan. Karena itu mereka membuat perhitungan untuk melakukan pembalasan. Balas membalas. Bunuh membunuh. Begitu seterusnya. Sementara pangkal dari rantai dendam itu sendiri mereka tak mengetahui. Yang mereka tahu, ada yang harus dimusuhi karena suka memusuhi mereka. Dan musuh mesti dihabisi.

Parahnya, perseteruan dua kubu tersebut kini sudah menjalar ke sejumlah kota. Kalau mereka berperang, kota seperti kembali ke zaman primitif. Tombak, kelewang, panah beracun, ketapel dan trisula, mereka gunakan memburu dan membunuh lawan. Baru sebulan terakhir ini, mereka mulai menggunakan bom rakitan. Anehnya, sekali lagi, akar masalahnya tak pernah jelas.

Kalau dibilang perebutan lahan kekuasaan, jelas tidak masuk akal. Gelengga dan Donggala bukanlah pemimpin kelompok preman yang biasanya berebut kantung ekonomi kota untuk dijadikan lahan pungutan liar atau pemerasan. Kedua pimpinan kelompok massa ini merupakan tokoh kharismatik dengan kehidupan mapan dari usaha perniagaan yang legal. Keduanya terkenal dermawan untuk berbagai kegiatan sosial yang masing-masing memiliki daya tarik simpati publik.

Dua tokoh kharismatik itu masing-masing memiliki pendukung yang sama banyaknya di berbagai kota. Bila kekuatan dua kubu ini bersatu, sebetulnya sebuah people power yang tangguh. Namun sejak awal kehadiran kedua kelompok massa itu seperti ditakdirkan untuk berseteru. Mereka berseteru, entah untuk apa. Target politik? Lebih baik, tidak berpraduga terlalu cepat.

Apapun motif perseteruan itu, perang antar kelompok pendukung kedua tokoh publik itu telah menyengsarakan rakyat di berbagai kota. Tampaknya, sangat mudah memicu perang bagi mereka. Contohnya di sebuah kota, perang besar  kedua kelompok itu pecah hanya gara-gara seorang penumpang angkutan kota turun tidak membayar sewa. Sopir menegurnya, eh, yang ditegurnya malah berang. Pertengkaran penumpang dan sopir angkot itu, sebenarnya tak ada kaitannya dengan konflik antara kubu Donggala maupun Gelengga. Namun dua hari kemudian kota itu sudah terbakar dan berdarah-darah.

Di kota lainnya, bom meledak. Entah kelompok mana yang memulainya. Di kawasan itu perang menggunakan sumbu ledak isu santet dan SARA. Di tempat lain lagi, perang menggunakan isu pemilihan kepala lorong yang curang. Cuma pemilihan kepala lorong, tapi penduduk satu kabupaten geger. Sejumlah kota hangus terbakar dan ratusan korban mati sia-sia.
 
***
Darah. Darah lagi. Dari beranda sebuah rumah di pusat kota salah satu benua seberang samudera, Jaduk membentang halaman surat kabar yang baru diantar loper koran ke rumahnya. Matanya terbelalak, bathinnya tersentak. Hampir tak percaya. Berita itu mendebarkan jantungnya, sekaligus mengingatkannya kepada sepotong kenangan lama tentang dua sahabatnya.

Head line halaman pertama surat kabar itu menulis berita memilukan dengan huruf tegap-tegap: GELENGGA BOM MARKAS DONGGALA! SERATUS TEWAS, RIBUAN LUKA-LUKA, TIGARATUS RUMAH DIBAKAR!

“Gila! Mereka masih saling mendendam sampai sekarang. Keras hati. Kepala batu. Ini harus dihentikan!” gumam Jaduk geram.
“Ada apa, Pa?” tanya Srikanti pada suaminya itu ketika mengantar secangkir kopi.
“Kau ingat Mam, Donggala dan Gelengga teman kecil kita. Ternyata mereka biang perang itu”.
“Betulkah?”
 Mata Srikanti terbelalak membaca judul berita surat kabar yang masih di tangan Jaduk. Seakan tak percaya.
“Apakah betul itu mereka, Pa?”
“Pasti. Lihatlah, ini foto dokumentasi mereka ditampilkan juga ”.
Sudah sepuluh tahun terakhir, Jaduk kehilangan kontak dengan Donggala dan Gelengga. Keduanya sahabat Jaduk sejak kecil. Mereka berpisah sejak Jaduk terpaksa pindah ke benua seberang samudera karena situasi politik dalam negeri yang tidak berpihak pada keluarganya. Setelah menikahi Srikanti, Jaduk kemudian berketetapan hati tinggal di benua itu  dan kerja di sebuah industri pertambangan.
Bahwa Donggala dan Gelengga pernah berseteru, Jaduk tahu. Namun dia tidak mengira perseteruan keduanya pada masa kanak-kanak dulu, kini makin berkobar sampai mereka dewasa. Dan Jaduk baru mengetahuinya pagi itu, setelah perang besar dua sahabat kecilnya menjadi topik berita internasional. Berita itu mendorong Jaduk untuk pulang ke kota masa kecilnya yang kini kacau.
Kepulangannya kali ini membawa misi jelas: untuk menghentikan kekacauan itu. Hitung-hitung, menebus ‘dosa’ pada negeri kelahiran yang selama ini dilupakan. Jaduk  yakin, cuma dirinyalah yang bisa menghentikan perang itu.
***
 
“Tidak seorang pun tahu, kecuali aku!” Jaduk membathin.
 Ketika tiba di kota kelahirannya, awalnya Jaduk terasa asing juga. Segalanya telah berubah. Bangunan berkembang pesat. Setiap bangunan ruko, selalu dipasangi jeruji, penanda kota itu tidak aman. Meski demikian, setidaknya masih ada satu harapan yang ditunggunya di kota itu:  bertemu dengan Donggala dan Gelengga. Reuni dengan sahabat lama ini diharapkan bisa seakrab dulu. Tidak ada yang berubah. Jaduk berharap bisa bertemu kedua sahabat kecilnya dan mengakhiri peperangan ini secepatnya.

Dengan bantuan informasi Sodikun, sahabat lamanya yang lain, Jaduk berhasil mengontak Donggala dan Gelengga secara terpisah. Secercah harapan muncul setelah dua sahabat lamanya dikontak, ternyata masing-masing menanggapi gembira dan menyatakan rindu ingin bertemu. Jaduk  mengatur pertemuan dengan cara mengundang keduanya secara terpisah. Satu sama lain tidak diberitahu tentang rencana reuni itu. Donggala dan Gelengga  dijanjikan Jaduk bertemu di Restoran Pinky. Tempat biasa mereka dulu bertemu sambil makan-makan.

Di tengah keresahan Jaduk menunggu, seraut wajah yang samar-samar dikenalinya muncul. Jaduk sontak bangkit dari tempat duduk dan menyongsong pria yang datang  mengedarkan pandangan ke ruangan. Pria itu kelihatannya mencari-cari  seseorang.
“Hey, kaukah itu Donggala!” tebak Jaduk.
“Kau Jaduk ya?” kata seseorang itu yang tidak lain Donggala.
Mereka berpelukan erat layaknya sahabat lama yang hilang bertemu lagi. Di tengah suasana haru pertemuan dua sahabat itu, muncul seseorang lain.
“Jaduk!” panggilnya.
Jaduk menoleh ke arah orang yang memanggilnya.
“Kau Gelengga?” kata Jaduk memastikan.
“Ya, aku Gelengga yang dulu”.
Melihat kehadiran Gelengga, Donggala kaget. Gelengga juga terkejut. Mereka saling beradu pandang.
“Kau ada di sini?” ujarnya menunjuk Donggala.
“Kau juga ke sini, memata-matai aku ya?,” tuding Donggala pada rivalnya itu.
“Sabar, tenang, mari kita duduk dulu,” ujar Jaduk mencoba menengahi ketegangan dua sahabatnya yang bermusuhan itu.
Mungkin karena menghormati kehadiran Jaduk, kedua pihak sama-sama menahan diri.
“Apa yang terjadi di kota ini, kubaca di suratkabar kota kita terus-terusan dihantui teror perang sesama warga” tanya Jaduk pada keduanya.
Donggala dan Gelengga beradu pandang lagi, kemudian sama-sama memandang Jaduk dengan tatapan menyelidik. Tak mungkin menutupi peristiwa yang sudah menjadi berita dunia. Gelengga membathin. Donggala juga membathin hal yang sama. Percuma menutupi adanya permusuhan di antara mereka, karena  Gelengga dan Donggala tahu kalau Jaduk hanya pura-pura bertanya saja.
“Dia yang memulai!” kata Donggala langsung menuding Gelengga.
“Dialah yang memulai” tangkis Gelengga balik menuding Donggala.
Walau kedua tokoh kharismatik ini berpengaruh di kota, namun di hadapan Jaduk sifat kanak-kanak mereka kembali muncul. Reuni itu memang mengingatkan mereka masa kecil  sebagai tiga sahabat kental.
“Kenapa kalian saling tuding?” tanya Jaduk.
“Soalnya dia menuduhku terus,”kata Gelengga menunjuk Donggala.
“Aku menuduhnya, karena aku tahu diriku tidak bersalah. Dialah  yang melakukan perbuatan memalukan itu” tangkis Donggala.
“Kupastikan, kalian berdua tidak bersalah. Ini semua salahku” kata Jaduk.
Gelengga dan Donggala belum mengerti apa yang dimaksud Jaduk.
“Ya, begitulah. Aku menyesal sekali, gara-gara aku tidak jujur, kalian saling tuding. Akibatnya jadi  begini,” ujar Jaduk.
Jaduk pun membuka cerita mengenang masa kanak mereka, tigapuluh tahun lalu.
“Kau ingat, waktu itu kita berempat. Aku, kau Donggala dan kau Gelengga serta Srikanti isteriku sekarang…” kata Jaduk.
Gelengga dan Donggala menyimak cerita Jaduk dengan seksama.
“Ya. Kesimpulanku, perang ini bukan kekerasan melawan murka warga kota kita. Perang ini kekerasan hati melawan hati kita sendiri. Termasuk aku, yang tak sanggup melawan malu demi sebuah kejujuran. Sementara kalian, tak mampu melawan murka diri sendiri  untuk saling memaafkan” ujar Jaduk.

Donggala dan Gelengga terdiam. Jaduk kemudian melanjutkan cerita yang dipendamnya berpuluh tahun. Sebuah rahasia yang membuat kedua sahabatnya menanam benih dendam  masa kecil dan hingga mengobarkan perang besar saat mereka dewasa.

“Rahasia ini kupendam karena aku tak bisa mengalahkan rasa malu di depan Srikanti saat kita berempat bermain gundu. Peristiwa itu membubarkan permainan kita. Karena itu kutinggalkan kalian dan membiarkan kalian saling tuduh sebagai biang kekacauan. Apalagi Srikanti yang bertindak sebagai hakim pertengkaran kita terlanjur memercayaiku kalau aku tidak terlibat mengacaukan dolanan masa kanak kita akibat ulahku burukku tapi tidak ada seorang pun di antara kita yang tahu. Peristiwa itu membuat kalian semua meludah dan tutup hidung untuk meyakinkan diri tidak terlibat. Kecuali aku, yang bergegas pergi meninggalkan kalian bertengkar. Ah, sebelumnya kujelaskan dulu. Aku lakukan semua ini karena posisiku yang sulit karena aku juga takut dipermalukan di depan Srikanti. Ya, kira-kira situasinya begini: kalau kutahan sakit namun dilepas juga takut”.
“Jadi?”.
Donggala dan Gelengga  saling pandang lagi.
“Ya, akulah yang..?”
“Yang apa?”
“Kentut!”
 “Hua ha..ha…ha…ha!”
***
“Perang itu sadis. Ratusan nyawa melayang, cuma jadi lelucon masa kanak-kanak di meja catur perundingan!,” tulis Jaduk  pada sebuah notebook di dalam pesawat yang take off meninggalkan kota kelahirannya menuju benua di seberang samudera. Benua tempat dia bermukim, sembunyi dari kekacauan dendam perang.
(*)

Share This Post: