Bukan Perawan

Kota Serang dalam selimut remang-remang. Sendiri, aku masih termenung sepi di sudut malam. Kulirik jam tangan pemberian Ardi di ulang tahunku yang ke dua puluh kemarin. Pukul 00.21. Itu bearti sudah  hampir  lima jam aku di sini, menanti seseorang yang tak kunjung datang. Jangan-jangan dia benar-benar sudah tak cinta lagi padaku.

 

Kuhirup napas lebih dalam, satu liter, dua liter udara serasa memenuhi paru-paruku. Lalu kuembuskan kuat-kuat ke udara lepas. Berharap kegundahanku bisa ikut terbuang, namun ternyata sia-sia. Gelisahku makin lama makin merebak. Seragam putih yang aku kenakkan dibelai angin malam. Mengoyak aroma yang sangat tidak aku suka. Aroma kematian. Tak mau lagi aku sia-sia menunggu Ardi yang tak kunjung datang, aku beranjak dari taman yang hanya dibatasi pagar tembok dengan jalan raya. Lalu-lalang kendaraan mulai sepi. Kota Serang akhirnya benar-benar pulas.

 

Ardi. Laki-laki itu telah mencuri separuh tempat jantungku. Sebenarnya sudah kulakukan protes setiap kali Ardi merebut pulau itu dariku, namun setiap kali itu juga aku gagal. Aku semakin tak kuasa membendung hasrat bila tangan-tangan kokoh Ardi membelaiku yang pada akhirnya membuat aku terperangkap dalam cinta yang aku sendiri tak sanggup untuk mengungkapkannya.

 

Sepasang mata Ardi telah membakarku hingga lemas tak berdaya, bahkan sampai kedua bola mataku kerontang sampai buta. Aku tak lagi mampu melihat jurang pemisah yang begitu dalam memisahkan aku dan Ardi. Cinta kami tak mungkin pernah bisa disatukan. Andai saja jurang itu tidak pernah ada, tentu aku sudah hidup bahagia dengan Ardi. Laki-laki pujaan hatiku.

 

Begitulah Ardi. Sosok laki-laki itu kembali mengusik jiwaku malam ini. Puas mengumpulkan puing-puing kisah tentang Ardi, lagi-lagi aku hanya bisa menarik napas. Sudah bisa kupastikan, Ardi juga tak akan datang malam ini untuk menemuiku.

 

Aku lempar pandangan setinggi mungkin. Di langit hanya ada bulan yang bergelantungan sendirian. Dia pasti amat sepi, sesepi hatiku malam ini.

 

Sebenarnya tak ada yang salah dengan aku mencintai Ardi. Ardi juga terang-terangan mencintai aku. Kita sama-sama cinta.

 

“Aku sungguh mencintaimu,” begitu kata Ardi padaku.

 

“Aku juga... sampai kapanpun cinta kita tak akan terpisah oleh apapun.”

 

 

Hari ini genap satu bulan aku menjalin cinta dengan Ardi. Aku begitu mencintainya dengan segenap jiwa ragaku. Cintaku pada Ardi melebihi cinta pada siapapun.

 

Dia hanya laki-laki biasa. Bahkan menurutku terlalu biasa untuk aku cintai hingga sedalam ini. Aku tidak menyadari bagaimana prosesnya sampai aku begitu mengagumi sosok Ardi yang tiba-tiba sangat istimewa di mataku. Memang, sebagai sama-sama mahasiswa membuat kami sering berdiskusi cukup panjang mengenai pelajaran, laporan praktikum bahkan sampai pada masalah tugas akhir. Ardi satu angkatan di atasku. Tepatnya senior. Kedewasaan dan keramahan Ardi yang membuat aku hanyut dalam arus yang namanya cinta. Awalnya kami memang hanya bercerita seputar masalah perkuliahan. Tapi lama-lama aku suka memerhatian gaya bicaranya yang begitu kharismatik, gaya sisiran rambutnya yang sederhana, sampai senyumnya yang sangat menggoda. Aku sering bertandang ke kostanya dengan alasan meminta mengajariku tentang tugas kuliah yang aku anggap sulit dan Ardi bisa membantuku, dan aku merasa gelisah bila sehari saja tak melihat Ardi hadir di kampus.

 

Hari-hari berlalu, bulan berganti bulan. Kami sering makan bersama di kantin, nonton di bioskop atau sekadar membahas lagu-lagu yang menjadi favorit kami berdua. Ardi menyeruak lembut ke dalam hariku. Mencuri pulau kosong yang lama tak berpenghuni. Kelembutanyanya membuat benih-benih cinta tumbuh subur di lahan kosong itu. Kedewasaannya memberikan rasa hangat dan nyaman. Rasa yang membuat aku tak jadi diriku lagi.

 

 

Aku menjadi seperti magma yang siap dimuntahkan dari perut bumi. Menghanguskan apa saja yang bisa aku lewati, kekagumanku pada sosok Ardi benar-benar membuat aku telah kehilangan jati diriku. Bagai lidah api, aku mengahanguskan setiap ada yang mencoba menghalangiku mendapatkan cinta Ardi seutuhnya. Pengetahuanku soal agama dan dosa seakan ikut tebakar dan hilang tak berbekas menjadi abu. Aku mau melakukan apa saja asalkan bisa bersamanya. Aku ingin menjadi kekasihnya. Aku ingin hari-hariku selalu berdua dengannya. Aku ingin setiap bangun padi Ardi ada di sampingku dan memberikan kecupan hangat di keningku. Aku gila! Benar-benar gila.

 

Hingga pada satu sudut malam aku harus bertekuk lutut pada cinta Ardi. Saat aku terlempar dalam jurang yang terlalu dalam untuk kembali merambat naik kepermukaan. Hubunganku dan Ardi sudah terlalu jauh. Tapi malam itu Ardi benar-benar membuatku terpuruk.

 

“Kita harus mengakhiri semua ini.”

 

“Kenapa? Bukankah kita sudah saling menikmati hubungan ini?” aku bersuara dalam pertanyaanku.

 

Ardi tak pernah menjawab. Setiap kali kutanya alasan Ardi mengutarakan kata ‘sudah’ hanya kebisuan yang aku dapatkan. Aku selalu bertanya-tanya. Hingga akhirnya aku lagi-lagi terjatuh dalam kenyataan pahit yang sebelumnya tak pernah terbersit dalam pikiranku.

 

Ardi akan menikah!

 

Aku sungguh remuk mengetahui kenyataan yang kini benar-benar nyata. Aneh! Aneh tapi nyata. Bagaimana mungkin Ardi yang dulu terang-terangan mencintaiku mengambil keputusan yang membuat aku terluka untuk kedua kalinya?

 

Aku tak mengerti jalan pikirannya. Akhirnya aku tahu kalau Ardi ternyata telah dijodohkan orangtuanya dengan menantu pilihan mereka. Ingin aku berteriak sampai pita suaraku tercapik. Ingin aku membunuh Ardi agar tak satu pun bisa memilikinya. Namun rasa cintaku yang teramat dalam membuat aku tak mampu melakukan apa-apa.

 

“Aku mencintaimu, namun aku tak mungkin bisa menikahimu”

 

“Kenapa?”

 

“Karena kita sama.”

 

“Kita sama-sama laki-laki? Itu maksudmu?”

 

Andai saja aku seorang perempuan, andai saja Zakia tak pernah bermain-main dengan cintaku, andai saja aku menyadari kalau aku sangatnya gagah, andai saja… Andai saja…

 

Aku didera kata “andai saja”. Aku mengulas senyum kecut. Mencoba terbahak menertawan kebodohanku sendiri. Aku benar-benar bodoh untuk ukuran sebagai seorang laki-laki, tak hanya itu. Ternyata kini aku begitu hina untuk ukuran sebagai seorang manusia.

 

Sinar matahari pagi menyeruak dari balik tirai kamar tempatku dirawat. Lalu mataku menangkap sekelebat bayangan berseragam putih. Seorang suster masuk dengan segelas susu dan sepotong roti.

 

“Sudah bangun?” dia tersenyum padaku.

 

“Silakan diminum susunya, mumpung masih hangat!” sekali lagi dia mengulas senyum. Ah, senyum itu dulu yang juga pernah diberikan Zakia dan Ardi padaku. Senyum yang kelihatanya manis namun ternyata mengandung racun mematikan.

 

Namun pagi ini aku ingin tersenyum manis. Aku sudah sangat bosan dengan ruangan serba putih yang memenjaraku beberapa hari ini. Aku ingin berkeliaran bebas melepas semua benci dan penatku.

 

“Hari ini anda sudah boleh pulang, tapi seminggu sekali harus tetap check up, ya. Dan obatnya jangan lupa diminum.”

 

“Terimakasih, Dok.”

 

Akhirnya hari kebebasanku datang. Setidaknya aku bebas dari kejenuhan yang beberapa hari ini benar-benar telah mengendap dalam jiwaku. Sedimentasi antara kebencian, putus asa, dan kekecawaan yang akhirnya membatu.

 

Penghujung Desember, 00.19

 

Aku masih belum berniat meninggalkan sudut Kota Serang. Taman Ciceri masih terang dibaluti pesta kembang api, beberapa kendaraan silih berganti berhenti lalu melaju kencang setelah lampu merah di perempatan gedung Carrefour itu membelalak dengan sinar hijau. Aku melangkah gontai meninggalkan Ciceri menuju arah utara, melewati toko mie ayam Hawaii, aku terus melangkah ke arah Cijawa menembus gerimis yang mulai jatuh satu-satu. Aku biarkan sapatuku basah, rambutku, kemejaku, dan sekujur tubuhku. Aku tidak tahu, basahku karena gerimis ataukah karena air mata.

 

Sudah kupastikan Ardi tak kan pernah datang sekadar mengucapkan kata selamat tahun baru. Kuikuti ke mana kakiku melangkah, terus menyusuri jalan Fatah Hasan yang berujung di tugu Bunderan. Ada beberapa orang pedangan cireng yang mangkal di sana. Kugigit bibirku kuat-kuat. Ngilu, ngilu yang bertebaran bersamaan dengan tubuhku yang bergetar makin hebat karena dingin.

 

Ponselku bergetar, sebuah SMS masuk. Dengan malas kuintip layar hapeku, SMS dari Ardi.

 

Happy New Year, smoga menjdi pribadi yg lebih baik. Aku yakin, kmu pasti bisa melupakan smua yg pernah terjadi antara kita. Oya, minggu dpan kamu datang ke acara 7 bulanan istriku ya. Wajib datang lho!

Semoga menjadi pribadi yang lebih baik. Kuulangi bait SMS itu perlahan-lahan. Hatiku bergetar. Yaa Tuhan,  masih adakah kesempatan untukmu menjadi lebih baik, setelah virus HIV ini bersarang di tubuhku? Lagi-lagi kugigit bibirku, dua kristal jatuh dari mataku dan mengalir membelah pipiku. Tubuhku kembali bergetar, bayang-bayang dosa tiba-tiba menyerangku dengan hebat. Aku kalut luar biasa. Ampuni aku, Tuhan, ku ingin menjadi pribadi yang lebih baik. Suara itu mengalir begitu saja tanpa mampu aku tahan. Lalu aku berlutut, aku tak peduli ketika tubuhku sudah benar-benar basah. Sebab, aku merasakan kata “Ampun” memberikan rasa hangat yang menjalar sampai ke ubun-ubun.

Share This Post: