Bukan Karena Ramuan

Kutatap kedua bola matanya dengan sebuah sorot ketegasan. “Kapan kau akan membawa kedua orang tuamu kerumahku”.

 

            “Maaf aku belum berani mengatakan kepada kedua orang tuaku perihal kita”.

 

            “Lagi-lagi itu yang kau ucapkan padaku, sudahlah aku terlalu lelah hidup dalam ketidakpastian”.

 

            “Beri aku waktu untuk menjelaskannya kepada mereka, dan tolong pahami karakter aku yang tertutup. Apalagi dalam masalah ini, aku belum cukup diri, Ir”.

 

            “Waktu? dua tahun apa bukan waktu? Sudahlah, aku tak sanggup lagi. Aku sungguh sangat lelah, sematkanlah cincin itu pada wanita yang lebih sabar daripada aku!”

 

 

 

            “Ceu Inah, kita masuk gang mana? Rumah Mbah Darjo lagi, Ceu?” tanya Ujang, ojek yang setia mengantar kami nyare’at.

 

            “Bukan, Jang, ke arah kiri, rumahnya mbok Laksmi. Kamu tahu, kan, tempatnya?”.

 

            “Tenang, Ceu, kemarin malam  Ujang habis dari sana, nganter Ceu Juju nyari sare’at. Denger-denger sih suaminya kesurupan waktu pulang habis ngobor”.

 

            “Iya, Jang, sebenarnya Ceu Inah juga sudah capek nyari-nyari sare’at buat si Irma. Tapi mau gimana lagi dari pada dia terus kepikiran si Handi yang makin hari bikin anak Eceu tambah stres, ya Euceu takut kalau nanti si Irma jadi gila. Lihat sendiri Jang perubahan si Irma”

 

            “Iya, Neng Irma, sudah atuh jangan dipikirin laki-laki kaya gitu, mah. Si Handi hanya mempermainkan Neng Irma saja. Yakin Ujang, mah, Neng, mendingan sama Ujang. Kalau sama Ujang, Ujang bakal langsung melamar Neng Irma”

 

            “Akh, sudah Jang  jangan bercanda. Percepat bawa motornya! Sepertinya mau hujan”

 

            Aku yang berada di antara Ujang dan Ibu, hanya terdiam mendengar percakapan mereka. Sebenarnya hati ini miris mendengarnya. Tapi mulut ini seakan terkunci untuk menyangkal pernyataan ibu. Perkataan ibu semakin hari semakin membuatku rapuh. Lengkaplah penyakit batin ini.

 

 

 

            Suasana tempatnya masih sama seperti rumah Mbah Darjo. Bau kemenyan langsung menyambut kedatangan kami. Ujang terlihat menutup hidung dan sempat bersin. Seketika itu bau aroma melati menyengat hidungku. Kami berada di ruang tamu setelah pemabantunya membukakan pintu dan menyuruh kami masuk. Tikar pandan segera digelarkan oleh pembantu tadi dan menyuruh kami duduk. Selang lima menit orang yang kami tunggu pun datang, ia menghampiri kami dengan rambut yang terurai sampai lantai. Aku sempat kaget melihat penampilannya yang tak biasa dikenakan manusia biasanya; gigi hitam dan sepuluh jarinya mengenakan cincin-cincin besar berbatu giok. Matanya terus menatapku tajam. Tapi aku mulai terbiasa karena penampilan yang serupa sering aku temukan ketika aku menjadi sang pertapa pilu.

 

            “Siapa yang mau dirajah”? tanyanya tanpa nada lembut.

 

            “Anak saya, mbok. Namanya Irma. Sudah tiga bulan dia melamun, memi...”

 

            Ibu tak sampai selesai menceritakan perihal tentang aku. mbok Laksmi menyuruhnya diam. Seakan dia tahu permasalahan yang kuhadapi saat ini. Dia langsung menghampiriku. Mulutnya mulai bergemuruh bak desir angin yang meniup pasir di gurun Sahara. Ia memuncratkan apa yang ada dalam mulutnya ke atas kepalaku. Dingin. Baunya yang membuatku memuntahi kain hitamnya. Dia menggeram. Entah karena kekesalannya karena aku telah memuntahi kain hitamnya itu, atau memang sedang membaca sisa mantranya. Setelah itu dia menanyakan nama laki-laki yang selalu ada dalam fikiranku. Sigap, ibu langsung menjawabnya.

 

            “Handi Permana, mbok”.

 

            Mbok Laksmi langsung menggerakan sepuluh jarinya seperti orang yang bertasbih. Tapi bukan, entah apa yang dia baca. Aku hanya menunduk dan sesekali aku muntah kecil, karena mual yang bergejolak dalam lambungku. Setelah itu dia masuk kamarnya dan keluar membawa secarik kertas yang dimasukan ke dalam plastik, dan air putih dalam kemasan botol yang tak bermerk. Dia menarik ibu sedikit lebih jauh dari hadapanku, terlihat dia membisiki ibu, terlihat ibu hanya mengangguk dan sedikit tertawa kecil, kemudian dia menghampiriku dan meniup ubun-ubunku dengan pelan. Mualku semakin menjadi. Aku pun berlari keluar karena isi dalam perutku sudah di ujung mulut. Tangan ini memegang tiang rumah mbok Laksmi. Dia terlihat menatap tajam padaku. Mungkin hanya aku satu-satunya pasien yang mengotori kain hitam dan rumah tuanya. Ujang pun segera menancapkan gas, rasa mual mulai membaik.

 

 

 

            Mata ini tak kunjung terpejam. Padahal mulutku sudah beberapa kali menguap, aku pun bangun dan mengambil air wudhu. Di atas sajadah yang terlentang, aku meminta ampun kepada Yang Kuasa atas kelalaikan dan menuruti perintah ibu pergi ke dukun. Semoga Sang Pemilik Cahaya mengampuniku. Walau kutahu ini adalah dosa besar yang seharusnya tidak pernah aku lakukan. Setelah selesai shalat malam aku kembali merebahkan badanku dan memaksa mata ini untuk terpejam, hampir aku mulai memasuki alam mimpiku.

 

            Aku terbangun kembali karena suara pintu terdengar terbuka. Terlihat ibu menutupnya pelan. Aku pun segera keluar kamar dan membuntuti ibu dengan langkah yang pelan. Langkahnya terhenti pada rumah berdindinding kuning gading, tak lain rumah itu adalah rumah Handi. Aku tidak sedikitpun terlepas dari pantauan, terlihat ibu menggali tanah dan memasukan secarik kertas yang dibungkus plastik dan menyiraminya dengan air dari botol, tak lain itu adalah ramuan dari mbok Laksmi siang tadi. Mulut ibu berkomat-kamit, seperti meniupi tanah itu berkali-kali. Dan ia langsung meninggalkan rumah yang tak berpagar itu, akupun mulai mendekati rumah itu. Aku akan mengeluarkan sercarik kertas itu yang tadi dikubur ibu. Tapi lampu rumah itu tiba-tiba menyala, terlihat seorang laki-laki keluar mengenakan baju koko dengan sarung blaster kuning-coklat. Hatiku langsung berdetak kencang dan badan ini terasa lunglai melihatnya. Akupun tidak sempat mengeluarkan kertas itu, karena adzan Subuh bergema di setiap pelosok desa.

 

 

 

            Lima hari berlalu dari perkara mbok Laksmi, salah satu nomber yang dulu sempat kuhapus kini tiba-tiba muncul kembali, aku hafal nomer itu. Isinya menayakan keadaanku lewat selinatas pesan, aku membalasnya dan menanyakan kembali keadaannya. Tiba-tiba nomer itu meneleponku, suaranya sudah tak asing lagi ditelingaku, tapi dia kembali menanyakan keadaanku, walau tadi sudah ditanyakan melalui pesan. Aku menjawabnya dengan senyum tipis yang tak henti kulintaskan. Aku seperti anak remaja yang baru merasakan indahnya jatuh cinta. Di tengah pembicaraan, aku begitu tersentak kaget dengan salah satu pertanyaannya.

 

            “Maukah kau menjadi istri sejatiku?”.

 

            “Mau. Aku akan siap menjadi istri sejati dan setiamu”.

 

            “Sampaikan salam pada ibumu bahwa aku akan datang ke rumahmu malam ini bersama kedua orangtuaku”.

 

            Dia langsung mengakhiri pembicaraan kami. Senyum merekah dari bibirku. Rasa bahagia yang pernah lenyap dalam hidupku kini kembali meretas, aku telah keluar dan bebas dari penjara batin yang begitu pengap.

 

 

            Malam ini bulan terlihat sempurna. Hati ini merasakan bias indah cahanya. Hati yang dulu bergelimpuh lara, kini menjadi hati yang tak pernah berduka. Bahagia dan bahagia, malam ini akan menjadi sejarah baru dalam hidupku. Tapi aku percaya, ini bukan ramuan saktinya mbok Laksmi, ini adalah buah dari kesabaranku menantinya..***

Share This Post: