SETANGKAI COKLAT

"Pernahkah kau memakan coklat?"

 

            Pertanyaan itu menyapaku dengan ramah, menghentikan gerak mataku yang meloncat-loncat riang melihat barisan coklat di kemasan-kemasan cantik beragam bentuk dan warna. Aku terusik dan mencari pemilik suara merdu yang melayangkan kalimat barusan.            

 

Di depanku berdiri seorang perempuan muda berwajah manis yang mengenakan blus chiffon murahan berwarna beige berikut mini skirt coklat kulit manggis. Gestur tubuhnya memperlihatkan rasa tak nyaman atas apa yang dikenakan. Mungkinkah ia belum pernah mengenakan rok mini? Dahiku mengerut menatapnya. Ia tersenyum manis. Ah, manis sekali senyumnya. Dekik mungil di kedua ujung bibir itu membuat kerutan dahiku menghilang.

 

            "Kau bertanya padaku?" tanyaku sambil melihat berkeliling. Tak seorang pun di dekatku yang menaruh perhatian terhadap kalimat yang diucapkan gadis itu.

 

            "Ya." sahutnya yakin. Aku terpana.

 

            Menurutku, untuk ukuran seorang pramuniaga, ia sangat kurang ajar menyapaku dengan 'kau'. Ia begitu muda, kukira umurnya sekitar delapan belas tahun, separuh dari umurku. Dan ia begitu berani memanggilku dengan 'kau'.

 

            "Kenapa?" Akhirnya pertanyaan itu yang kuajukan, mengabaikan rasa tersinggung yang sempat muncul.

 

            "Aku hanya sekadar bertanya saja." Dahiku kembali mengerut. Bahkan ia pun membahasakan dirinya dengan aku. Apakah pemilik stand ini tak mengajarkan etika menyapa pengunjung dan membahasakan diri? Sungguh terlalu. Namun yang kulakukan kemudian juga lebih keterlaluan lagi. Aku tersenyum padanya.

 

            "Sudah jelas aku pernah memakan coklat. Rasanya tak seorangpun yang tak pernah memakan coklat sepanjang hidupnya. Bahkan sejak seorang anak sudah pandai mengunyah makanan, beberapa ibu akan menyelipkan segigit kecil coklat ke dalam mulutnya," kataku panjang lebar.

 

            Gadis itu tertawa renyah, memperlihatkan deretan giginya yang tak terlalu putih. Aku terkesima. Tawa itu, khas sekali.

 

            "Ya..ya..ya, tak seorangpun yang tak pernah mencicipi coklat seumur hidupnya, meski tak semua orang terlalu menyukainya." Aku mengangguk setuju.

 

            Di rumahku, hanya aku dan anak bungsuku yang bisa disebut penggila coklat. Sementara suami dan anak sulungku lebih pas dengan julukan penggila keju. Sehingga cake coklat yang akan mereka sentuh hanyalah cake coklat bertabur krim keju atau keju parut. Atau sebaliknya, cake keju dengan siraman coklat. Pokoknya masih terselip aroma dan rasa keju yang gurih. Karena menurut mereka, coklat tanpa keju itu membuat eneg dan membosankan. 

 

            "Tidak juga," bantahku kala suami mengemukakan teori itu.

 

            "Benar, Fadia. Coklat itu kan super manis, jadi cenderung membosankan kalau tanpa variasi rasa lain. Terlalu manis tidak bagus." Suamiku memberikan penekanan lebih pada kalimatnya yang terakhir.

 

            "Tapi kan terselip juga rasa pahit. Tak melulu manis kok rasa coklat itu." bantahku keras kepala. Suamiku tersenyum melihatku ngotot.

 

            "Nah, itu juga yang tak kusukai. Pahitnya membuat bad mood."

 

            "Lha, kebalik tuh, Mas. Coklat malah membangkitkan dan membuat mood jauh lebih baik. Gimana, sih?" Suamiku mencibir. Aku membalasnya dengan memajukan bibir yang manyun. Lalu kami tergelak bersama. Begitulah, perdebatan keju dan coklat hanya akan berakhir dengan tawa, tak pernah serius. Sesekali bahkan berakhir di ranjang karena suami telanjur gemas dengan manyunku yang panjang dan melumatnya dengan bibirnya yang hangat.

 

            "Apakah kau menyukai coklat?" Pertanyaan itu lagi-lagi mengusikku. Aku baru sadar kalau aku masih berada di stand pameran. Di hadapanku berdiri pramuniaga muda berwajah manis itu.

 

            "Bukankah kau sudah menanyakannya?" kataku mengingatkan. Ia menggeleng.

 

            "Aku hanya menanyakan apa kau pernah memakannya. Dan kau hanya mengatakan pernah memakan coklat. Namun itu tak berarti kau juga menyukai coklat, kan?" Sepasang mataku mengedip cepat beberapa kali. Detil sekali anak ini.

 

            "Ya, aku menyukainya. Bagaimana denganmu?"

 

            "Tidak." Mataku membesar sebelum menyipit kemudian, menelusuri kesungguhan yang menggurat di wajahnya.

 

            Aku mengedarkan pandang ke sekeliling stand yang dipenuhi beragam produk coklat. Impor maupun lokal. Sebuah monitor cctv menampilkan sosok kami berdua di antara sosok-sosok lain yang memunggungi.

 

            "Kenapa?" tanyaku mengejar. Ia tersenyum lagi-lagi. Manis.

 

            "Karena aku tak ingin hidup bersama kamuflase."

 

            Aku mengernyit seraya menelusuri keseluruhan tubuhnya, dari ujung kaki hingga kepala. Ia seorang gadis muda dengan  penampilan yang tak terlampau mencolok seperti umumnya para pramuniaga yang gemar berdandan 'over'. Make up tebal dan aksesori berlebihan yang mudah mengundang beragam penafsiran. Frida, aku mengeja nama yang tertera di badge yang melekat di dadanya. Hmm, F...

 

            "Aku suka dengan nama yang diawali huruf F, seperti namamu dan namaku. Juga anak-anak kita kelak." Tiba-tiba saja kalimat suamiku ketika kami masih berpacaran dulu terngiang kembali. Aku tersenyum.

 

            "Coklat itu perpaduan manis dan pahit yang sukar dipahami, namun membuat kecanduan. Coklat memberi efek menenangkan, namun tak signifikan. Aku lebih menyukai keju. Aku tak suka makna samar-samar karena hidupku juga sudah sedemikian samar." Aha, dia mirip suamiku. Tapi apa katanya, makna samar-samar?

 

            "Keju lebih manusiawi sebagai rasa. Asin, gurih dan tak membuat kecanduan." Menarik. Kupikir, gadis yang berdiri di hadapanku sekarang hanya sedang tersudut ketika menerima tawaran sebagai pramuniaga. Ia kelewat cerdas untuk profesi yang disandangnya sekarang. Kemasan kalimat yang dilontarkannya, berikut isinya cukup mewah.

 

            "Coklat itu makanan langit, sedangkan keju makanan bumi." Satu alisku terangkat.

 

            "Bisa kau mendefinisikannya dengan lebih sederhana?" tanyaku berhati-hati, khawatir dia tersinggung. Orang-orang yang kerap mencomot istilah keren, cenderung lebih mudah tersinggung jika lawan bicaranya tak paham dengan apa yang dikatakannya.

 

            Gadis itu tertawa, renyah, memperlihatkan dua dekik di sudut bibirnya. Oho, aku ingat sekarang, dekik itu bukankah juga dimiliki suamiku? Hanya saja lebih samar dan halus.

 

            "Bahasaku berbelit-belit, ya? Sok banget. Maksudku begini, Bu.." Aha, dia terlihat lebih santun kini. " Coklat itu terlalu membuai, membuat kita hidup dalam khayalan tingkat tinggi. Rasa manisnya akan membuat kita berpikir hidup itu adalah sepotong coklat yang lumat di lidah. Begitu mudah, begitu indah." Aku manggut-manggut. Begitukah?

 

            "Keju itu gurih dan menyenangkan. Rasa asinnya membuat kita senantiasa terjaga meskipun dalam kesenangan. Itu menurutku lho, Bu. Mungkin berbeda dengan pendapat orang-orang pintar di luar sana." Aku manggut-manggut lagi sambil mengamatinya dengan lebih teliti.

 

            Gadis itu berkulit sawo matang namun terlihat bersih, seperti suamiku. Aku menyukai orang-orang berkulit bersih, meskipun mereka tidak putih. Sepasang matanya yang bening seperti memantulkan kejujuran yang kuat. Wajahnya selalu bersungguh-sungguh.

 

            "Coklat itu racun lho, Bu. Bukankah kucing tak boleh mengkonsumsi coklat? Ia bisa mati kejang-kejang." Bibirnya berbisik ke dekat telingaku. Aku menahan napas.

 

            "Maaf, aku mengganggu Ibu dari tadi. Silakan dilanjutkan memilih coklatnya, Bu. Selamat sore." Ia memberi isyarat lewat tangan, bahwa ia akan beranjak ke sudut lain, menyapa pengunjung yang mulai banyak memasuki stand. Aku mengangguk.

 

            Pembicaraanku dengan pramuniaga berwajah manis itu sedikit memengaruhi mood-ku melihat ratusan coklat yang menghampar di depan mata. Seleraku yang tadinya menyala-nyala kini menyurut perlahan. Kuambil sebatang coklat yang cukup besar, menimang-nimangnya sesaat lalu melangkah menuju kasir. Aku mengedarkan pandang ke seluruh ruangan stand, mencari-cari sesuatu.

 

            "Ini untuk Ibu." Seseorang muncul dari belakangku seperti hantu, mengagetkan. Aku berbalik seketika. Gadis itu. Ia mengangsurkan setangkai buah coklat yang masih menyisakan warna hijau di kulitnya. Aku tak serta-merta menerimanya.

 

            "Kenapa?" tanyaku tak dapat menutupi rasa ingin tahu.

 

            "Hanya sebuah pemberian, Bu. Tak perlu dievaluasi." Ia tersenyum, manis. Seperti sebelumnya.

 

            "Terimalah, Bu. Anggap ini sebagai ucapan terima kasih saya atas perbincangan singkat tadi. Saya membelinya, bukan mengambilnya diam-diam dari rak di sana. Kalau Ibu tak percaya, boleh tanyakan pada pramuniaga dan kasirnya." Ia menunjuk ke rak berisi buah-buah coklat di sebuah sudut yang tersembunyi, dipunggungi rak coklat kemasan yang tampil centil berbalut pita.

 

            Meski sedikit enggan -aku bingung, mau diapakan buah coklat itu – dan diliputi kebingungan, kuterima juga setangkai coklat yang menggantung dalam genggamannya.

 

            "Terima kasih. Kamu..."

 

            "Sama-sama, Bu Fadia. Semoga Ibu selalu bahagia." Ia menyela kalimatku yang belum sempurna sambil melirik badge nama di dadaku, lalu bergegas pergi setelah mengulas senyum. Senyum yang berbeda. Ya,senyum itu tak semanis sebelumnya. Aku membaca kepahitan di sana. Entahlah.

 

            Aku pulang dengan hati yang kuyup oleh keriangan. Di tanganku tergenggam setangkai buah coklat dan sebatang coklat siap makan ukuran besar yang menghuni tasku. Aku tak sabar menyampaikan kisah percakapanku dengan seorang gadis penjaga stand pameran coklat terbesar di kotaku pada suami.  Ia pasti terkesan. Apalagi gadis itu memiliki nama yang diawali dengan huruf F.

 

            Aku masuk ke rumah dengan langkah seringan kijang dan melengkingkan salam penuh antusias. Namun tak kutemui siapapun. Aku melirik jam bulat besar yang mencengkeram dinding. Ah ya, anak-anak belum waktunya pulang mengaji. Tapi suamiku? Bukankah biasanya ia sudah tiba di rumah lebih dulu?

 

            Aku melongok seluruh ruangan dan menjulurkan kepala lebih panjang, untuk memastikan suamiku tak sedang menggodaku dan bersembunyi di suatu tempat. Satu kebiasaan unik yang sesekali dilakukannya. Tak ada. Aku tak menemukannya di mana-mana. Oh, okelah, mungkin sesuatu menghambatnya di jalan sehingga terlambat pulang ke rumah.

 

            Aku meletakkan coklat di tanganku ke atas meja makan, lalu masuk ke kamar, mandi dan mengganti baju. Tubuhku yang tadinya berselimut peluh, kini terasa segar kembali. Kusemprotkan sedikit minyak wangi untuk memanjakan penciuman suami. Aha, aku sudah keranjingan mempraktekkan tips-tips di majalah dewasa, salah satu upaya menyegarkan suasana rumah tangga kami yang telah berjalan tiga belas tahun. Masa rawan godaan, kata seorang teman yang suaminya kerap berselingkuh.

 

            Suamiku tiba pukul delapan. Anak-anak telah masuk kamar dan menuntaskan makan malam. Sementara aku masih menunggu di ruang keluarga sambil berulang-ulang memencet remote televisi. Makanan yang terhidang tak ada yang hangat lagi. Aku mengembuskan napas. Tak biasanya ia begini.

 

            Toh, aku tetap menyambutnya dengan mesra di pintu depan yang terbuka setengah. Kuambil tas kerja dari tangannya. Kulihat wajahnya begitu lelah. Sangat lelah. Rasa iba meluruhkan kekesalan yang sempat menyumpal tenggorokan. Senyumku mengembang hangat.

 

            "Sibuk, Mas?" tanyaku sambil mengiringi langkahnya ke ruang keluarga. Ia melonggarkan dasi lalu menghenyakkan tubuh ke atas sofa.

 

            "Iya." Ia membuka sepatu dan kaus kaki lalu menyingkirkannya ke bawah kursi.

 

            "Aku tadi ke pameran coklat di Paladium." Sepasang matanya membesar seketika. Ia menggeser duduknya menghadapku.

 

            "Kau ke sana?" tanyanya tak percaya. Aku mengangguk.

 

            "Kok aku nggak lihat?"

 

            "Mas ke sana juga?" Ia mengangguk. Aku terpana.

 

            "Untuk apa?" Suamiku menggapai tas kerjanya, merogoh isinya dengan cepat dan mengeluarkan sebatang coklat impor. Seketika mataku berbinar gembira. Ia mengangsurkannya padaku.

 

            "Kau menyukainya, kan?" Aku mengangguk-angguk, kehilangan kata. Kupeluk suamiku dengan erat setelah mengucapkan terima kasih berulang-ulang. Tiba-tiba aku teringat sesuatu.

 

            "Lho, tadi katanya sibuk? Kok sempat?" tanyaku sambil melepas pelukan.

 

            "Pas jam istirahat siang. Kan, dekat kantor. Lagipula, kau sangat menyukai coklat, kan?" Aku manggut-manggut lagi. Kutimbang-timbang keinginanku untuk menceritakan gadis bernama Frida itu.

 

            "Apa kau bertemu seseorang yang menarik di sana? Seorang gadis berinisial F,  misalnya?" tanyaku hati-hati. Seraut wajah manis membayang di pelupuk mataku.

 

            Lelaki di hadapanku terperanjat. Ia menatapku dengan tajam. Aku merasa ada kilatan berbeda di matanya. Lalu berangsur normal kembali dalam hitungan detik. Ia mengacak-acak rambutku.

 

            "Apa yang ada dalam benakmu, Sayang?" Ia mengambil remote televisi dan mengganti siaran.

 

            "Lihat! Seorang gadis dihamili oleh pacarnya. Pacarnya malah menolak bertanggung jawab dan menikahi gadis lain yang barusan dikenalnya. Apakah menurutmu gadis itu bodoh?" Suamiku menunjuk seorang gadis yang menunduk ketika ditanyai polisi dalam berita kriminal yang tengah ditayangkan. Aku menatap lurus ke gambar yang dimaksudkan.

 

            "Mungkin. Lelakinya juga bodoh, menyia-nyiakan seorang anak yang bisa jadi adalah seorang gadis yang kuat, tegar dan mandiri. Bisa jadi itu karena ia tak menyukai coklat, melainkan keju." Aku nyerocos panjang-lebar. Wajah seorang gadis di stand pameran terus membayang. Aku bahkan tak menyadari wajah suamiku yang pias dan tatapannya yang tajam terarah padaku, seakan ia ingin membelah kepalaku dan mengambil ingatanku atas kejadian di pameran.

 

            "Apakah kau bertemu seseorang yang menarik disana? Seorang gadis berinisial F, misalnya." Ia bergumam lirih, tak sampai menyambangi telingaku. Sementara aku, terus mengomentari berita kriminal di televisi.

 

            Aku mungkin tak mendengar gumamannya, aku juga mungkin tak mengetahui apa arti tatapannya. Namun, aku tak mungkin tak mengetahui setangkai coklat yang menyembul dari dalam tas kerjanya yang sedikit terbuka. Aku hanya berpura-pura tidak tahu saja, sambil menelan rasa pahit di hatiku. Mungkin itu sisa coklat yang kulumat beberapa jam lalu.

Share This Post: