PILIHAN CINTA HANIFA

Hm… hm… Lalala….

 

Alunan irama campuran senantiasa mengiringi langkah remaja kampung itu. Ia terus berjalan dengan semangat. Napas yang terengah-engah seakan menambah variasi irama langkah yang semakin dipercepat.

 

“Alhamdulillaah…” gumamnya. Tidak jauh di depannya tampak seorang remaja laki-laki yang tidak lain adalah teman, tetangga sekaligus masih ada hubungan kerabat dengannya.

 

“Jon, samo wak eh.. tungguan den…” teriaknya.

 

Si Joni seolah tidak mendengar teriakan Hanifa, remaja kampung itu. Dengan sedikit cemberut, ia tetap melanjutkan langkahnya dengan semangat. Toh, dia sudah merasa cukup senang karena sekarang tidak sendiri lagi berjalan di balik hutan-hutan sepi ini.

 

Hanifa adalah seorang pelajar SMP kelas III di kampung kecil sebuah nagari di Sumatera Barat. Jarak rumahnya dari sekolah sekitar 2 km, yang melalui pusat kegiatan nagari. Di perjalanan antara kampungnya dengan ibukota nagari terdapat 1 km yang tidak dihuni penduduk. Di kiri dan kanan jalan hanya terdapat kebun-kebun tanaman tua. Jadi serasa melewati hutan. Walaupun sebenarnya jalan sudah bagus, namun di kampung itu masih sepi masyarakat berlalu lalang. Apalagi pagi-pagi begini.

 

“Hm… dulu sih enak ada ni Weni, jadi ga’ kesepian kayak gini...” suara hati Aan, panggilan akrab Hanifa. Yah… resiko kebiasaan terlambat. Teman-teman sudah pada berangkat, eh, si Aan baru mau mandi. Kasian…

 

“Alhamdulillaah… sampai juga di pasar. Saya harus belanja dulu.”

 

Sejak kelas 2, Aan dipercaya mengelola koperasi siswa di sekolahnya. Alhamdulillaah, maju jaya. Hampir tiap hari Aan mengantongi isi toko mak Ilim di pasar untuk dibawa ke sekolah.

 

Sekitar lima menit kemudian Aan sampai juga di sekolah. Tanpa diperintah, matanya langsung tertuju ke kantin depan gerbang. Ups, ternyata masih pemandangan yang sama. Seraut wajah bersih yang mendebarkan hati para wanita, senantiasa menyambut kehadiran Aan di sekolah. Setiap pagi, si doi menyapa Aan dengan cibiran khas yang diikuti senyuman istimewa. Entah dari jam berapa ia duduk disitu menanti kedatangan Aan. Ya, hanya sampai Aan datang. Buktinya, setiap Aan sampai di gerbang, ia pasang gaya khas itu untuk Aan, lalu kabur ke kelas melewati gerbang samping mendahului Aan. Aan pun berlalu setelah memberikan ekspresi balasan dan sebuah senyuman yang dia sendiri tidak mampu mengartikannya.

 

“Dasar cowok aneh. Apa pula enaknya kayak gitu?” polos hati Aan. Namun, terkadang timbul juga desiran-desiran indah yang menggoda hatinya.

 

Setiba di kelas, seperti biasa Aan disambut oleh tiga teman genknya yang unik-unik. Santi yang dengan suara merdu dan gaya lucunya senantiasa bikin hepi, Yuni alias Nyunyun yang cantik tapi cerewet plus ceplas ceplos, dan Deni si ganteng berjiwa cantik dan polos alias cowok tomboy…(???).  Aan juga tidak lupa menyapa semua temannya di kelas dengan sapaan hangat dan bikin tawa plus semangat. Termasuk si doi yang juga sekelas dengannya semenjak kelas tiga ini.

 

Teng… teng… teng…

 

Saatnya belajar… Semua siswa tampak menikmati aktivitas belajar mereka. Namun, akhir-akhir ini si Aan sedikit terganggu dengan tingkah si wajah bersih. Setiap kali pandangannya bertemu dengan si doi, sebuah senyuman penuh makna seakan mempercepat detak jantung Aan. Huft… 

 

Teng.. teng… teng…

 

Irama lonceng yang ditunggu-tunggu telah tiba.  Semua siswa pada kabur keluar kelas. Aan dan genknya, Happy DAYS, segera menuju tempat mangkal mereka, koperasi siswa. Langkah mereka pun diikuti oleh teman-teman kelas tiga, yang terkadang membuat adik-adik kelas satu dan dua  cukup berhati-hati dan butuh keberanian khusus kalau mau belanja di koperasi waktu istirahat begini. Seperti biasa, mereka pun beraksi dengan gaya masing-masing. Candaan, ledekan dan saling cemooh meramaikan suasana. Yang paling menghebohkan adalah saat berhibur  dengan dendangan musik buatan yang diiringi suara cempreng dan goyangan maut Deni. Sampai istirahat selesai, Deni dan seorang teman sejiwanya Jefri menghibur semua yang berada di koperasi. Aan tersenyum-senyum bahagia karena semua itu membuat koperasinya berjaya.

 

“Alhamdulillaah… makasih sob” syukurnya.  

 

Di hujung waktu istirahat, tiba-tiba Dedet alias Dedi Petet nyeletuk.

 

“Hoi… kawan-kawan, lah tau gosip terhangat? Si Aan lah pandai lo kini… “

 

“What??? Apaan tu???” kaget hati Ifa.

 

“bla...bla…bla…” ribut sekampung di ruangan kecil itu.

 

“Pandai manga Det? ” teriak Aan.

 

“Ndak wak sangko doh.” Lanjut Dedet seolah tidak mendengar teriakan Aan.

 

“Ha… ba to Tet? Apo mukasuik nyo tu?”

 

“Jan icak-icak ndak ngarati lo An. Lai batarimo kawan wak nan ganteng tu kan? Apo jo lai…” komentar Dedet bertubi-tubi.

 

“Apo ko ha… ndak ngarati ambo doh Petet…” kesal Aan. Namun, dalam kepala Aan sudah mulai muncul ingatan pada sebuah ekspresi istimewa yang senantiasa menyambut kehadirannya setiap pagi.

 

“Tunggu se lah kanai tembak suak. Jan ditulak lo ndak. Sa ganteng tu ha, elok lo lai. Mantan nyo se payah nak baliak” kandas Dedet diiringi lonceng masuk yang sudah memanggil. Pertemuan hari itu pun selesai. Tinggallah Aan dengan kegundahan hatinya.

 

“Jadi, benarkah semua itu ada maksudnya? Inikah arti senyuman khas yang menyambutnya setiap pagi? Ya Allaah, aku sudah mencoba menghilangkan semua perasaan itu, tapi… Oh, padahal sikapku kan sama pada semua teman” gumam Aan.

 

Ya, Aan sama dengan gadis remaja biasa lainnya, yang sedang dilanda gejolak-gejolak rasa yang nano-nano. Cinta, benci, iri, berbagi, hepi-hepi, dan lain-lain. Namun, satu hal yang membuat ia berbeda adalah bekal ilmu agama yang didapatkannya dari buku-buku Islami oleh-oleh kakaknya dari rantau. Majalah remaja Islami yang berisi cerpen, artikel dan untaian nasehat bijak yang sarat makna, ilmu fiqh, sejarah Islam dan lain-lain. Buku-buku itu menghadirkan beberapa prinsip di hati Aan, dan menyatu dengan sikap keras hatinya yang sudah mengakar. Dia sadar memang belum semua ilmu yang diterimanya dapat ia terapkan, karena layaknya remaja terkadang ia dengan sengaja menunda penerapannya walaupun hati dan akalnya membenarkan semua yang telah dibacanya. Namun, untuk satu hal penting dalam setiap sejarah hidup manusia yang bernama cinta, ia mencoba berpegang pada satu kalimat sederhana dari sebuah buku remaja karangan almarhum ustadz Jefry alias Uje, ‘Pacaran boleh, asal Allah tidak liat’. Nah, lho…

 

Beberapa hari itu adalah hari-hari Aan dikerubungi candaan dan godaan dari teman-temannya. Berbagai tipe titipan salam, mulai dari Assalaamu’alaikum sampai salam rindu yang menggoda. Berbagai rangkaian kata cinta yang ternyata juga sudah memenuhi buku-buku dan meja si doi. Teman-teman Aan sibuk memprovokasi karena berbagai alasan. Ada yang ingin balas budi karena selama ini Aan telah menjadi tempat berbagi yang nyaman bagi mereka dalam masalah keluarga dan sebagainya, termasuk masalah pacaran mereka. Memang selama ini Aan seolah menjadi mediator hubungan baik di antara teman-temannya yang berpacaran, walaupun ia sendiri tidak mau menikmati masa itu. Satu alasan polosnya adalah karena ia tidak mau disebut mantan pacar siapapun nantinya. Alasan ini diperbaiki setelah ia mempelajari kalimat sederhana penuh makna dari ustad favoritnya itu. Kalimat itu pun telah menyadarkannya bahwa perannya sebagai mediator tersebut adalah hal yang salah. Ia pun mulai mengurangi dan mengubah caranya berbuat baik pada teman-temannya. Namun, berhasilkah Aan mempertahankan prinsipnya kali ini? Jiwa remaja di puncak gejolak, ditambah dukungan semua teman-temannya yang bertubi-tubi, mengekspos semua positifnya si doi plus menyindir prinsipnya yang dianggap aneh dalam dunia indahnya remaja.

 

Siang itu…

 

“An, ado yang nio ngecek. Nyo tunggu di kantin tek Mi kini” pesan Yuni.

 

Jantung Aan berdetak semakin kencang. Dia belum siap mengambil keputusan ini. Memilih antara cinta dan cita di waktu yang belum tepat. Cinta yang mulai tumbuh dari keluhuran budi dan cara yang lembut. Sedangkan citanya mulai mengakar kuat seiring bertambahnya ilmu mewarnai logika berpikir yang semakin rasional. Namun, dia harus memilih. Ya Allaah, Aan terus berzikir dan mohon petunjuk.

 

Aan berdiri resah di tempat biasa menunggu ojek untuk pulang ke rumah. Tanpa sengaja ia melihat ke arah tempat yang disebutkan. Ternyata wajah itu sedang menatap Aan seolah menunggu gerak langkah Aan. Sebuah anggukan mesra seakan merayu Aan untuk mendekat. Perasaan Aan semakin tidak karuan. Namun, kakinya tidak hendak melangkah ke tempat yang disebut. Setelah berpikir sejenak, dengan terbata-bata Aan menyampaikan pesan pada Yuni.

 

“Nyun, tolong sampaikan ka inyo yo. Bukannyo ndak suko, tapi An nio mancubo menerapkan yang An tau se nyo. An nio cubo konsisten untuak ndak menikmati yang namonyo pacaran. Itu pilihan An. Tolong sampaikan maaf An yo Nyun… pliiiss”.

 

Dengan wajah kusam, Yuni menemui si doi dan menyampaikan pesan Aan. Sedangkan Aan langsung pulang ke rumah, karena ia takut masalahnya jadi semakin sulit.

 

Setiba di rumah, Aan merasa lega. Plong. Paling tidak, ia sudah menyampaikan pilihannya apa adanya. “Toh nantinya si doi juga bakal melupakan semua ini,” pikir Aan.

 

Besok paginya, Aan tidak lagi menemukan senyuman spesial yang biasa menyambutnya tiap pagi. Ternyata si wajah bersih tidak masuk sekolah. Satu hari, dua hari, ketidakberadaan si wajah bersih cukup meresahkan hati Aan. Apalagi teman-temannya yang usil juga menggoda Aan untuk menyesali keputusannya.

 

“Ah, tidak. Keputusanku sudah yang terbaik. Mudah-mudahan dia mengerti alasanku” Aan sibuk dengan pikirannya.

 

Ternyata benar. Beberapa hari setelah siang itu, si doi menyatakan cintanya pada teman akrab Aan yang sekampung, namun beda tingkat dengannya. Dengan tidak enak hati, teman Aan menceritakan perasaannya yang ternyata sudah lama menyukai si doi. Hahai…

Entah apa maksud si doi, Aan tidak peduli. “Selamat menikmati, kawan. Aku dengan pilihanku” gumam Aan. Seperti biasa, Aan tetap bersikap baik pada keduanya. Ia pun berusaha menyeimbangkan nasehat ustad Jefri dengan kondisi yang terjadi antara mereka.

Share This Post: