Takdir Sang Rembulan

Ketika manusia mempertanyakan arti dari takdir sang rembulan.

 

Sekar Ayu memandang resah sekeliling, upacara hampir dimulai. Namun pasukan Suranantaka belum juga tiba. Padahal Dukun Mustika sudah sibuk komat-kamit membaca mantra di hadapan sosok Kerta Ayu yang hanya mengenakan kemben dengan bahu terbuka. Wajah Kerta Ayu terlihat sangat pucat. Bagaimana tidak? Ia akan disembelih malam ini oleh Dukun Mustika sebagai agenda wajib tiap purnama bulat sepenuhnya.

 

“Kemana dia? Kakakku hampir di sembelih! Mengapa ia belum menampakkan batang hidungnya?” Gerutu Sekar Ayu hampir tak terdengar.

 

Sekar Ayu menatap lurus ke depan, di mana Kanjeng Sasmita Atmaja dan Dukun Mustika tengah mengitari tubuh Kerta Ayu seraya menyiraminya dengan air kembang tujuh rupa. Tanpa sadar Sekar Ayu menggigit bibir bawahnya. Kilatan masa lalu tentang kematian kakaknya Prawira Atmaja melintas kembali di benaknya.

 

Prawira Atmaja mati mengenaskan di sembelih oleh Dukun Mustika sebagai persembahan untuk Langit. Kini Kerta Ayu akan bernasib sama. Mungkin setelah kematian Kerta Ayu, tibalah kematiannya.

 

Sebenarnya Sekar Ayu tak begitu khawatir dengan kematian, hanya ia resah dengan cara kematian menghampirinya. Di sembelih disaksikan seluruh warga Padepokan Cibulak bukan sesuatu yang menyenangkan baginya. Itu adalah suatu hinaan luar biasa yang menohok hatinya.

 

 

 

Bukan rahasia lagi jika Padepokan Cibulak yang di pimpin ayahnya ini bermasalah karena tiap malam bulan purnama selalu ada persembahan perjaka ataupun perawan. Anehnya, para perjaka dan perawan yang dijadikan persembahan kerap merasa senang karena menganggap bahwa dirinya telah menjadi orang penting yang diutus menjadi penyampai pesan dari bumi pada langit. Padahal, menurut Sekar Ayu, persembahan seperti ini sama sekali tak masuk akal.

 

Sekar Ayu berpikir bahwa ayahnya telah gila berada di bawah bayang-bayang Dukun Mustika yang mengadakan persembahan ini hanya untuk dirinya yang berkeinginan menjadi manusia abadi di muka bumi.

 

Sekar Ayu terhenyak saat Dukun Mustika telah mengacungkan pedangnya yang berkilat. Itu menandakan bahwa dalam beberapa menit lagi nyawa Kerta Ayu berada dalam bahaya.

 

“Kemana bocah itu?! Cih! Seharusnya aku tak mempercayainya!” Maki Sekar Ayu setengah bergumam. Syuuuuut...

 

Sebuah anak panah tiba-tiba menghujam ke arah lengan Dukun Mustika. Menancap sempurna hingga beberapa bintik darah menetes membasahi tanah di sekitarnya. Sekar Ayu hampir terpekik karena Suranantaka memenuhi janjinya untuk menggagalkan persembahan malam ini dengan mengadakan kudeta.

 

Beberapa orang dengan pakaian tertutup tiba-tiba menyeruak dan mengitari tubuh Dukun Mustika yang terlihat geram.

 

Sekar Ayu menatap takjub saat perkelahian antara anak buah Suranantaka dan anak buah ayahnya tak dapat dihindarkan.

 

“Apa yang kau lakukan disini? Cepat selamatkan kakakmu!”

 

Suara berat milik Suranantaka membuyarkan rasa takjub Sekar Ayu. Tanpa menunggu lebih lama, Sekar Ayu segera mengeluarkan pedang dari balik punggungnya. Ia sudah siap dengan risiko apapun, meski nyawa menjadi taruhan malam ini.

 

Sekar Ayu meliukkan pedangnya saat ada beberapa pasukan Kanjeng Sasmita Atmaja menghalangi langkahnya. Jarak antara keberadaannya dengan Kerta Ayu semakin dekat, namun Kanjeng Sasmita Atmaja tiba-tiba menghalangi langkahnya dengan pedang berkilat di tangan.

 

“Pengkhianat! Apa yang akan kau lakukan?!” Kanjeng Sasmita Atmaja terlihat murka.

 

“Aku ingin menghancurkan teori busuk yang dikoar-koarkan Dukun Mustika! Dukun Mustika itu tak lebih dari seorang penipu! Dia melakukan persembahan bukan untuk kemaslahatan umat manusia, melainkan untuk keberuntungan dirinya!

 

Dia ingin menjadi makhluk abadi, sehingga ia bersekongkol dengan iblis dan melakukan persembahan bodoh ini!!” Ucap Sekar Ayu penuh penekanan.

 

“Anak durhaka! Kurang ajar!” Kanjeng Sasmita tak bisa menahan emosinya. Ia merasa gagal mendidik Sekar Ayu karena rupanya gadis itu malah menentangnya habis-habisan dan mengatakan suatu hal yang tak masuk akal.

 

Kanjeng Sasmita Atmaja mengibaskan pedangnya yang langsung disambut pedang Sekar Ayu. Beberapa kali pedang mereka bergesekan, menciptakan aroma permusuhan yang mendalam di antara keduanya. Sekar Ayu meringis saat pedang itu  menorehkan luka di lengannya.

 

Kanjeng Sasmita Atmaja terbahak melihat darah menetes di sela-sela jari tangan Sekar Ayu. Melihat Sekar Ayu tersiksa seperti saat ini membuat hatinya diliputi kepuasan luar biasa. Mungkin ia sudah gila karena tiap melihat tetesan darah yang mengotori tangannya, ada suatu sensasi luar biasa mengalir hangat dalam tubuhnya.

 

Sekar Ayu menggertakan giginya, ia mencari celah untuk pergi dari hadapan Kanjeng Sasmita Atmaja, namun tua bangka itu tak memberinya celah sedikitpun. Hingga Suranantaka menyeruak di antara mereka dan memberi Sekar Ayu kesempatan untuk menyelamatkan Kerta Ayu dan pergi sejauh-jauhnya dari Padepokan Cibulak. Melihat kesempatan itu, Sekar Ayu segera memanfaatkannya. Kini Kanjeng Sasmita Atmaja berhadapan dengan Suranantaka.

 

“Kakak! Kau baik-baik saja?” Tanya Sekar Ayu cemas sambil melepaskan ikatan di tubuh Kerta Ayu yang tersenyum lemah. Tak membutuhkan waktu lama, ikatan di tubuh Kerta Ayu terlepas.

 

Sesuai rencana, sementara Suranantaka menyelesaikan pertarungan, Sekar Ayu akan pergi sejauh-jauhnya meninggalkan Padepokan Cibulak yang masih dangkal pemikiran dan dipengaruhi hal-hal berbau mistis.

 

Selama berabad-abad Padepokan Cibulak hanya menjadi setitik kegelapan dalam balutan cahaya. Pemikiran awam tentang dunia membuat Padepokan Cibulak terlena dengan hasutan orang-orang tak bertanggung jawab yang hanya memikirkan keuntungan bagi dirinya sendiri.

 

Sekar Ayu menggenggam tangan Kerta Ayu erat, mereka kemudian berlari menjauh dari arena pertempuran menembus gelapnya hutan Guniling. Mereka punya harapan baru di luar sana, harapan yang akan membuat hidup mereka lebih baik sehingga tak terjerat dengan aturan kuno yang selalu mempertimbangkan segalanya dari sudut pandang kerendahan derajat manusia.

 

“Apa yang kau lakukan? Mengapa menggagalkan persembahannya? Akan kemana kita sekarang?”

 

Kerta Ayu terlihat bingung dan memberondongi Sekar Ayu dengan pertanyaan.

 

“Tak perlu menanyakan apa dan bagaimana, karena ini adalah takdir Sang Rembulan. Kita hanya perlu mengikuti cahayanya agar sampai di tempat yang semestinya.”

Share This Post: