HANA

Hana memandangi air hujan yang meluncur perlahan di kaca jendela kamarnya. Ia menempelkan hidung dan bibirnya ke kaca yang lekat dingin itu. Aroma kayu lembab yang membingkai kaca, lamat-lamat menyusupi hidungnya. Hana bergeming.

 

            Di kejauhan, dalam kegelapan yang samar dan hujan yang turun setengah enggan, angin yang mengibas-ngibaskan dedaunan palem, Hana seperti melihat sesosok bayangan yang melambai padanya.    Bayangan itu begitu dikenalinya, seakan-akan dengan memejamkan mata pun ia bisa mengetahui kehadirannya.

 

            Bayangan yang berdiri di seberang jalan itu hanya melambai dalam diam. Tak berkata. Tak tersenyum. Seperti hantu yang baru.

 

            Hana menyeka air mata yang jatuh menyentuh ujung bibirnya. Asin. Ah, rasanya baru kini sepenuhnya ia menyadari air mata itu asin. Setelah suaminya tak ada lagi di sampingnya. Sungguh, berhari-hari ini Hana hanya sanggup mencecap rasa asin, sementara lainnya terasa tawar. Bahkan, beragam makanan tanpa rasa itu juga sulit untuk melalui tenggorokannya. Begitu di lidah, makanan-makanan itu seperti ditumbuhi duri yang menyulitkan mereka untuk meluncur menuju saluran cerna.

 

            Hana menjauhkan hidung dan bibirnya dari kaca.

 

            Bayangan melambai serupa hantu itu sirna bersamaan retaknya langit yang mengucurkan lebih banyak air hujan. Hana merasakan dingin hatinya kini mencapai pori-pori terluar. Kulit setengah tuanya yang mulai menipis, mengerut, tak terlampau sanggup menghalau hujaman dingin yang kepalang. Hana ingin menangis. Ia menangis perlahan, menyimpan senggukannya dalam-dalam.

 

            Suaminya pergi pada suatu senja dan tak kembali hingga malam berikutnya. Hana ingat dengan jelas bagaimana reaksi keterkejutannya kala menerima dua petugas polisi di pintu depan, pada siang sesudahnya. Siang yang mendung. Dan kedua polisi itu memaksanya berkabung lewat berita penemuan mayat suaminya yang terkapar di jalur perlintasan kereta.

 

            Hana tak segera menangis. Ia tak menangis bahkan hingga kedua polisi yang menyetel wajah ikut berduka itu pergi. Hana menatap punggung mereka dengan hati dan pikiran terbang entah ke mana. Sepasang sayap tumbuh di belakang telinganya.

 

            Hana melangkah seperti mayat berjalan ketika menghampiri telepon di atas meja kerja suaminya. Ia mulai menelepon. Dua orang perempuan.

 

            Kedua perempuan yang diteleponnya itu datang nyaris bersamaan tiga jam kemudian. Mereka menubruk tubuhnya yang terduduk di ruang tengah sendirian. Mereka menangis histeris dan menjerit-jerit mengecam Tuhan yang dianggap tak adil. Seorang mengatakan, seharusnya Tuhan menunggu hingga ia selesai menyerahkan kado ulang tahun untuk ayahnya. Sebuah kado yang dianggap istimewa. Seorang lagi menuding Tuhan tak berperasaan karena mengambil ayahnya tepat sehari sebelum ia wisuda, hari di mana ia melagak pada dunia tentang status sarjana yang mulia. Hana seperti mendengar entah tidak, kedua perempuan muda itu terus menangis hingga nyaris pingsan, siuman dan terakhir pingsan betulan. Hana mengoleskan balsem selayang di bawah lubang hidung keduanya.

 

            Esoknya, jenazah suaminya yang telah diotopsi dan dimasukkan ke peti, berdiam sebentar di ruang tamu dekat meja kerjanya. Tetangga, kerabat dan rekan kerja berdatangan dan menyumbang air mata. Hanya sedikit yang menyumbang do'a, karena sesungguhnya do'a kematian adalah do'a yang ingin dilupakan. Mereka dibayangi ketakutan, melafazkan do'a bagi mayit hanya akan mengingatkan mereka pada kematian yang bisa datang kapan saja. Ingatan itu melahirkan gelisah yang tak diinginkan.

 

            Mereka bergantian memeluk Hana, mencium pipinya dan mengucapkan kalimat yang intinya sama; bersabarlah. Tentulah bukan bersabar karena ditinggalkan saja, melainkan bersabar untuk status yang dipinggirkan, janda.

 

            Peti jenazah suaminya diberangkatkan ke pemakaman tepat pukul dua siang, saat matahari dan awan hitam bersisian dengan begitu mencengangkan. Keduanya menyimpan air mata. Dan Hana terus mengikuti iring-iringan manusia yang mengantar suaminya pada kepulangan abadi. Dan ia menjadi orang terakhir yang meninggalkan pemakaman, bersama dua perempuan muda yang masih terus-terusan menangis di sampingnya.

 

            Seminggu kemudian, setelah acara mendo'a selesai dan kedua perempuan muda itu meninggalkannya sendirian, Hana mulai merasakan sulitnya sendiri tanpa seseorang yang pergi untuk kembali. Seseorang yang pergi pagi-pagi benar dengan senyum dan lambaian tangan, kembali tengah hari untuk bersantap siang bersamanya, pergi lagi dengan terburu dan kembali dengan wajah lelah diantar senja yang memerah. Lalu beristirahat di sisinya  hingga pagi menjelang.

 

            Hana duduk di meja kerja suaminya. Kemarin ia merapikan meja itu dengan hati senggau. Ingatannya seperti kereta yang membawa gerbong-gerbong kenangan.

 

            Tangan Hana terulur menjamah laptop. Ia mengelus permukaannya seakan berpikir sesaat, lalu membukanya dan menekan tombol power dengan cepat. Layar menyala. Lantas semua bergerak begitu saja. Ia membuka folder album foto, puisi-puisinya, cerpen-cerpennya, akun facebook yang timeline-nya dipenuhi promo handphone dan tas-tas yang konon katanya merek terkenal – tas kawe-kawean, akun twitter, blog yang terlantar beberapa tahun dan video lipsync suaminya yang menyanyikan The Unforgiven-nya Metallica. Air mata Hana berdesak-desakan.

 

            Pada hari kedua dan ketiga di meja kerja suaminya, Hana melakukan hal-hal yang sama dengan kali pertama. Ia begitu terus hingga di hari keempat dengan cepat ia mengambil keputusan. Ia membuka blognya, diam sesaat dan mulai menulis. Seluruh isi kepalanya tumpah-ruah tak terbendung. Ia menulis seperti musafir yang terdampar berhari-hari di gurun, tanpa air, tanpa makanan, tanpa udara. Ia menulis bersama sisa tenaga tanpa konsumsi makanan, yang meledak perlahan-lahan. Ia menulis semuanya, dirinya, mendiang suami, anak-anak, rumah besar, hujan, matahari, bunga yang mekar, layu dan mekar lagi. Semuanya. Tiga hari yang dilaluinya kemarin adalah tiga hari yang membuatnya sekarat oleh kenangan. Tapi hari ini adalah hari yang membuat ia seolah berlari di atas papan qwerty.

 

            Hana terus menulis dan menulis dan menulis. Blog yang terlantar itu sekejap dibanjiri aksara. Hana terus menulis dan menulis dan menulis. Terus begitu hingga ia tak merasakan serangan gigil dan sesak napas lagi. Hujan terus-menerus turun, terus-menerus menemani, terus dan terus.

 

            Hari ini Hana duduk di meja kerja suaminya. Entah hari keberapa. Hana tak mengingatnya. Bahkan ia alpa melingkari tanggal kematian suaminya.

 

            Hana duduk dan menatap lurus ke layar laptop yang terbuka. Ia melihat blognya yang ditapaki ribuan pengunjung. Ia menatap blog yang tak menyajikan keterangan apapun tentang pemiliknya, terlebih foto. Hana menghapus perihalnya di hari kedua. Hana menyusuri komentar demi komentar yang semata pujian dengan perasaan kosong. Entahlah, Hana merasa asing. Ia diumpamakan Midas Pujangga yang seketika mengubah aksara menjadi ladang permata.

 

             Hana beranjak dari meja kerja suaminya dan memilih duduk diam di sofa bed depan televisi. Tangannya menjangkau remote dan menekan tombol power. Saluran berita terpampang, dinikmatinya sesaat, lalu menggonta-ganti saluran televisi dengan tak bersemangat. Tak satupun acara di kotak kaca itu yang dapat menahannya. Hana merasa lelah. Iamenyandarkan kepalanya dan memejamkan mata. Sungguh ingin ia menjemput bahu bidang tempat ia biasa bersandar. Tapi bagaimana mungkin, sedangkan bahu itu kini hanya semata tulang?

 

            Hana tertidur menggendong kenangan.

 

            Pagi belum sempurna membuka mata ketika dering telepon memecah senyap. Dering, entah yang ke berapa.

 

            "Mama, seseorang memenangkan penghargaan cerita pendek bergengsi tadi malam." Suara di seberang tak berbasa-basi lama, langsung ke inti. Hana menyibakkan selimut dan menjejakkan kakinya di lantai yang dingin.

 

            "Lantas?"

 

            "Mama, seseorang itu bukan penulis lama. Ia tak terkenal sama sekali."

 

            "Ah, bukankah itu tak diharamkan?" Hana membersihkan matanya dengan ujung jari.

 

            "Mama, ia tak seharusnya memenangkan penghargaan itu!"

 

            "Kenapa?"

 

            "Karena cerita pendek yang ditulisnya adalah milik Mama."

 

            Hening. Jemari Hana terhenti di udara. Ia membasahi bibirnya, menelan ludahnya. Ludah yang basi.

 

            "Mama harus melaporkan hal itu ke panitia dan jurinya." Suara di seberang memprovokasi.

 

            "Dari mana kamu tahu kalau cerpennya adalah cerpen Mama."

 

            "Ya, jelas tahu. Aku selalu mengikuti tulisan Mama di blog. Dan cerpen pemenang itu telah tersebar dengan cepat di internet."

 

            "Ooo..."

 

            "Mama, jangan diam saja. Ini sebuah kecurangan. Ini tidak adil."

 

            Hana melempar pandangan ke langit-langit.

 

            "Mama.."

 

            "Sayang, Mama ke kamar kecil dulu, ya?" Hana beranjak dari ranjang.

 

            "Tapi, Ma.."

 

            "Nanti Mama pikirkan. Sudah dulu ya, Sayang. Terima kasih telah mengabari Mama."

 

            "Mama..."

 

            Klik. Sambungan terputus karena Hana telah menutup horn telepon.

 

            Secangkir kopi panas, tanpa gula, tanpa sendok, tanpa tatakan. Hana menghalau asap yang meliuk tanpa putus dengan kibasan jemari yang perlahan. Ia menikmati setiap kibasan itu bersama nyanyian burung gereja yang berlompatan di atas kanopi. Burung gereja yang sendiri.

 

            Di samping tubuhnya tergeletak koran minggu yang mengabarkan berbagai hal. Kasus korupsi, tokoh minggu ini, kriminal, cerpen, puisi, tempat rekreasi, sampai iklan jual beli dan remeh-temeh yang basi.  Hana sudah membacanya. Semua. Termasuk profil seorang penulis muda yang namanya belakangan digadang-gadang sebagai penulis masa depan. Penulis yang menulis cerita pendek tentang hati yang sepi, perempuan di pintu senja, lelaki di seberang jalan, dua gadis di pangkuan dan judul lainnya yang mengakar kuat dalam ingatan Hana. Cerita-cerita itu adalah buah dari perjalanan dan harapannya yang tertuang di dalam blog. Hana menyesap kopinya dan memejamkan mata.

 

            "Mama, kapan berangkat?"

 

            "Siang ini. Penerbangan pukul dua."

 

            "Hati-hati ya, Ma? Aku sudah di rumah sakit. Sudah keluar tanda-tandanya..."

 

            "Baiklah, Sayang. Kuatkan hatimu, ya? Mama akan segera ke sana."

 

            Hana mengemasi bawaannya. Travel bag, tas tangan dan sebuah bungkusan plastik berisi oleh-oleh. Taksi yang dipesannya telah tiba di depan rumah. Hana tak menunggu klakson kedua memanggilnya. Stilettonya menapak penuh irama.

 

            Bayi itu, dengan wajah mungil sehalus pualam dan sepasang matanya yang mengedip perlahan, seketika menyandera Hana. Meraup habis perbendaharaan kata-katanya, menyedot seluruh sisa cintanya. Tangan Hana enggan melepas tubuh malaikat itu dari dekapannya.

 

            "Dia cantik kan, Ma?"

 

            "Ya, dia cantik sekali."

 

            "Mama akan lama di sini?"

 

            "Lama sekali."

 

            "Itu menyenangkan. Mama bisa menemaninya sambil menulis, bukan?"

 

            "Tidak."

 

            "Emmhh..?"

 

            "Mama takkan menulis untuk waktu yang lama. Mama akan mengajarkan Ayla banyak hal, termasuk menulis. Agar ia dapat menulis sepanjang ia inginkan. Sehingga ia tak perlu menunggu orang lain untuk menuliskan apa yang ia ingin katakan pada dunia. Tulisannya takkan pernah mati. Selalu lahir lebih banyak dalam setiap kelahiran. Karena begitulah semestinya tulisan yang diberkati."

 

            Tangis bayi di tangan Hana pecah memenuhi ruangan.

Share This Post: