CINCIN

Aku menatap cincin yang melingkar di jari manis tangan kananku dengan gelisah. Bolak-balik aku mengangkat telapak tangan dan menegakkan jemari, agar bisa melihat cincin itu dengan lebih cermat.

 

            Sebenarnya tak ada yang salah dengan cincin yang kukenakan saat ini. Cincin emas putih yang cantik dan elegan. Desainnya simpel saja, namun mampu memancarkan kemewahan sebutir berlian yang berkilau di tengahnya dengan sempurna. Aku menyukainya. Sangat.

 

            Momen istimewa kemarin sore, masih membayang jelas di mataku. Indra mengajakku singgah ke sebuah toko emas, sebelum menuju bioskop sebagaimana tujuan awalnya.

 

            “Nyari apa?” tanyaku sedikit enggan, kuatir tak kebagian tiket. Film yang akan kami tonton adalah film yang telah cukup lama kunantikan kehadirannya. Bayangan akan antrian calon penonton yang mengular, cukup menggangguku.

 

            “Ayolah. Sebentar saja. Aku jamin kita nggak akan kehabisan tiket. Percayalah.”    Bujukan itu masih ditingkahi dengan kerlingan merayu. Bagaimana aku bisa menolaknya, coba? Dan anggukanku mengantarkan kami ke depan etalase toko emas yang dipenuhi benda-benda berkilau. Sejujurnya, walaupun sebagai perempuan aku  tak terlalu feminin, toh dihadapkan dengan ratusan koleksi bling-bling seperti itu, aku sumringah juga. Meskipun hanya beberapa saat. Karena reka adegan film yang akan kutontonlah yang kembali mendominasi benakku.

 

            “Untuk siapa?” tanyaku, tergelitik ingin tahu. Lelaki itu tersenyum dan mengacuhkan pertanyaanku. Matanya terus saja berputar-putar mengamati benda-benda cantik di etalase toko. Lalu ia meminta pramuniaga toko berwajah dingin untuk mengambilkan barang pilihannya.

 

            “Bagus?” Ia meminta pendapatku untuk cincin yang dipilihnya. Aku mengangguk. Dan anggukan itu dengan cepat memindahkan cincin di jepitan ujung ibu jari dan telunjuknya, ke jari manis tangan kananku. Aku tercengang.

 

            “Apa-apaan ini, In?”

 

            “Bukan apa-apa. Hanya hadiah.” Lagi-lagi ia menjawab sekenanya sambil membayar cincin. .

 

            Seperti sihir, cincin itu membuatku terpana dan mematung cukup lama. Bahkan otakku pun tak mampu mencerna dengan sempurna, mimpi atau nyatakah semua yang terjadi? Aku juga membiarkan Indra yang tak sabaran, menggandeng tangan dan setengah menyeretku untuk keluar dari toko emas. Semua yang terjadi di sisa hari itu adalah kesia-siaan. Waktu yang sia-sia, obrolan yang sia-sia, bahkan film yang sangat kuidamkan untuk menyaksikannya juga menjadi begitu sia-sia. Tak sekepingpun jalan ceritanya yang hinggap di benakku.

 

            Dan hari ini, aku masih saja terkepung dalam sihir cincin itu. Seperti kutukan. Bisikan Indra di telingaku saat berpamitan tadi malam, masih terngiang.

 

            “Sampaikan ke Mama dan Papa, Sabtu depan keluargaku akan bertandang ke rumah. Kita sudah sepakat untuk meningkatkan hubungan ini ke jenjang yang lebih serius, kan?” Itu kata-kata yang biasa. Kami sudah sering membicarakannya dengan ringan sebelum ini. Tapi dengan cincin di jari manis dan ikhwal kedatangan keluarga Indra menemui orangtuaku dalam waktu dekat, kalimat tersebut menjadi punya daya kejut listrik untukku. Aku kesetrum!

 

            Aku kembali memutar-mutar cincin di jari. Aduh, bagaimana ini? Apa yang akan kulakukan? Haruskah kukembalikan cincin ini kepada Indra sebelum keluarganya berkunjung? Tapi.., tapi apa alasannya? Bukankah mengembalikan cincin berarti akan memantik puluhan pertanyaan dan kecurigaan dari lelaki itu? Lantas, bagaimana pula dengan cinta?  Lepasnya cincin sama artinya ia melepaskan cinta. Uff, pilihan yang sulit. Ah, kenapa Indra memberikan cincin tanpa aba-aba sebelumnya, sih?

 

            Tak hanya kebimbangan dan pertanyaan, kehadiran cincin di jari manis juga mengembalikanku pada secarik kenangan yang telah kukubur dalam-dalam sejak lama. Sayang, kenangan yang belum sempurna tergerus itu, bertandang kembali dalam ruang ingatanku. Gadis kecil itu, desahku sambil menatap jauh. 

 

            “Harusnya kau katakan saja pada Indra semuanya. Apa adanya. Soal apakah ia bisa menerima atau tidak, tak perlu kau pikirkan.” Nahda, satu-satunya sahabat yang mengetahui persis ikhwal kegundahanku, memberi saran via ponsel. Barusan aku mengirim sms padanya.

 

            “Aku memang berniat untuk mengatakannya, Nahda. Tapi bagaimana memulainya? Kau tahu kan, itu sangat menyakitkan baginya. Jadi aku harus berhati-hati..”

 

            “Memang benar, itu sangat menyakitkan. Kalimat halus atau lugas, mulai dari A atau Z, hasilnya tetap sama. Menyakitkan. Jadi, buat apa bersusah-susah mempersiapkan kalimatnya, Zia? Katakan saja apa yang ingin kau katakan. Mau kebalik-balik dan tak berurutan juga tak masalah menurutku..” Aku mendengus. Selalu begitu. Nahda tak pernah ambil peduli dengan hati orang lain.

 

            “Tak semudah itu, Nahda.”

 

            “Jangan terlalu dipersulit.”

 

            “Tapi kenyataannya memang sulit untuk dikatakan.” Aku bersikeras. Sahabatku, tahukah kau betapa ini semua tak mudah?

 

            “Kamu takut, Zi? Aku mendukungmu. Menurutku, Indra sangat mencintaimu. Jadi, rasa takutmu itu terlalu berlebihan. Semuanya akan baik-baik saja. Percayalah..” Kata-kata Nahda seakan menyuntikkan semangat baru. Ya, semuanya akan baik-baik saja..Aku mengulang kata-kata itu dalam hati.

 

            “Jangan cemas. Jika karena itu kau akan kehilangan cinta lagi, yakinlah masih ada banyak cinta yang menunggumu di luar sana.” Aku mencibir. Tiiiitt..Percakapan terputus. Entah karena apa. Aku enggan menyambung kembali. 

 

            Untuk kesekian kalinya, kupandangi cincin pemberian Indra. Sesaat kemudian, tiba-tiba saja jari tangan kiriku telah mencopot cincin emas putih itu. Karena tergesa-gesa, cincin lepas dari tangan, jatuh dan melenting ke sudut rumah. Aku terkesiap dan cepat-cepat memungutnya sebelum bergulir lebih jauh. Lalu buru-buru memasukkannya ke saku, sebelum mencelat untuk kedua kalinya. Kalau cincinnya hilang dan ditambah aku masih harus menceritakan rahasia besar itu pada Indra, bagaimana jadinya?

 

            Malam ini udara terasa lebih gerah dari biasa. Tak ada semilir angin yang bertiup dan bergemerisik di sela dedaunan. Padahal, sekarang bukanlah musim kemarau. Aku berusaha memejamkan mata. Melindas kerisauan hati yang membuat otakku menjadi demikian tegang. Tidur, mungkin akan membuatku lebih bugar keesokan hari. Bukankah aku membutuhkan tubuh yang fit untuk memulai pembicaraan serius dengan Indra?

 

            Aku baru saja tertidur setengah jam ketika mimpi itu menyelusupi tidurku dangan gemulai. Aku kembali ke ruang kelam di suatu masa. Ruang di bawah tangga yang tak terawat semestinya. Seraut wajah polos dengan rambut dikuncir, hadir bersama irama kakinya yang seringan kijang menuruni anak tangga. Lalu, potongan-potongan kejadian itu berganti-ganti dalam kecepatan tak terukur. Teriakan tertahan,  bentakan dan beberapa bunyi-bunyi asing memenuhi telingaku. Juga isak lirih yang menyayat. Aku terjaga dengan peluh bercucuran.

 

            Aku menatap kegelapan di sekitarku dengan nanar, sebelum mengatupkan mata. Saat tidur, aku terbiasa memadamkan lampu. Tanpa cahaya setitik pun, rasanya sangat tenang dan nyaman. Tapi malam ini sebaliknya. Kegelisahan yang beberapa hari terakhir mendominasi, mulai memasuki alam bawah sadarku. Mimpi itu. Bukankah mimpi sejenis sudah lama tak menghampiri tidurku? Itu mimpi-mimpi masa lalu. Masa yang penuh tekanan dan kesakitan.

 

            Pagi yang indah, gumamku saat menguak jendela. Cahaya matahari pagi yang lembut, menerobos kamarku dan menebarkan kehangatan. Rasa hangat itu bahkan menyusup jauh ke dalam hatiku. Memberi kekuatan. Ya, hari ini adalah hari yang kutentukan untuk membicarakan semuanya pada Indra.

 

            Setelah mandi dan berpakaian, aku menghubungi ponsel Indra. Kami bicara beberapa menit dan menyepakati akan bertemu di sebuah tempat pada jam istirahat kantor, siang nanti. Tak ada kata-kata mesra dariku. Bayangan akan pertemuan siang nanti membuat perasaanku sedikit lebih tegang saat berbicara dengannya. Aku tak dapat membohongi diri. Aku takut.

 

            Saat keluar kamar, aku berpapasan dengan seorang lelaki parobaya yang berjalan dengan langkah gemetar. Sebuah tongkat menyangga tubuhnya. Tatapan kami lekat sesaat, sebelum aku buru-buru mengalihkan pandangan. Saat melintas di dekatnya, aku dapat merasakan tarikan nafas panjangnya. Benakku meraba-raba. Apa yang ada dalam pikirannya? Masihkah ia mencemaskan masa depanku. Ah, Papa.. Secuil kepedihan yang  sempat kulihat dimatanya, menyusupi hatiku.  Toh, aku memilih untuk terus melangkah setelah berpamitan dan menyalami tangannya.

 

            Hari ini waktu berlalu begitu cepat. Rasanya belum banyak yang kulakukan ketika menyadari bahwa hari sudah siang. Aku gugup. Tiba-tiba saja semua hal menjadi salah. Aku membawa cangkir teh ke toilet, yang semestinya diletakkan di meja dapur. Saat menarik tas, aku lupa menutup kancingnya, sehingga seluruh isinya berhamburan ke lantai. Di pintu keluar bahkan lebih parah. Dua kali aku bertubrukan, dengan seseorang dan pintu kaca tebal! Menyedihkan. Hatiku sibuk merutuki secuil kisah yang menjadi sejarah hidupku. Ah, seandainya waktu bisa diulang..

 

            Kami duduk berhadapan, terpisah oleh sebuah meja yang tertutup taplak linen berbordir. Di atas meja, setangkai mawar mengisi vas porselen kecil. Juga sebuah lilin apung berwarna biru. Cantik. Hanya saja aku beranggapan, lilin itu tak semestinya dinyalakan. Bukankah hari terang-benderang? Lagipula, kami duduk di balkon. Desir angin membuat nyala lilin meliuk-liuk ibarat tarian. Aku tercenung.

 

            “Hey, Sayang..Kenapa diam saja?” Indra rupanya memperhatikanku. Aku mencoba tersenyum.

 

            “Senyummu tak manis hari ini. Ada apa? Oh ya, kita pesan makanan dulu, ya? Bicara akan membuatku semakin lapar. Kita butuh makanan, bukan?” Aku mengangguk. Ya, sepertinya aku memerlukan makanan untuk mengatasi kegugupan ini. Aku benar-benar gugup.

 

            Indra memesan makanan kesukaannya. Sementara aku, hanya memesan segelas jus jeruk dan buah campur segar. Saat pesanan datang, Indra mengernyitkan dahi menatap hidangan di depanku.

 

            “Kamu diet, Zia?” tanyanya heran.

 

            “Mm.., nggak juga. Hanya sedang ingin begini..” Indra masih tercengang. Sesaat kemudian ia geleng-geleng kepala dan mengangkat bahu, tak perduli. Lalu mulai menyuap dengan lahap.

 

            “Oke, sekarang katakan. Apa yang ingin kamu bicarakan sebenarnya? Apakah mengenai tanggal pernikahan? Baju? Suvenir? Atau tentang gedung mana yang akan kita pesan?” tanya Indra beberapa saat kemudian, di sela suapannya yang besar-besar. Sepertinya, lelaki itu memang tengah lapar berat.

 

            Aku mengunyah potongan melon di mulutku dengan enggan. Bahkan menelanpun rasanya menjadi sedemikian sulit sekarang ini. Bayangan itu melintas. Bayangan seorang lelaki. Lelaki yang melucuti pakaian seorang gadis kecil di semak-semak dekat rumah. Lelaki yang membekap mulut gadis kecil yang tengah meronta. Dan sebuah tamparan keras yang hinggap di pipinya, mengakhiri perlawanan tangan dan kaki mungil gadis itu. Ah, tiba-tiba saja aku ingin muntah..

 

            “Sayang, kamu kenapa? Kurang sehat, ya? Mual? Makanya, jangan makan buah melulu. Perut kosong kok diisi buah..ya begini jadinya.”

 

            Indra meletakkan sendok dan garpunya, bergegas mendekatiku. Ia memijit bahuku. Dengan rikuh aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Hanya pasangan di sebelah mejaku yang melirik sekilas. Sementara dua orang yang duduk di dekat pintu dan beberapa pelayan tak begitu ambil perduli.

 

            “Sudah, ah. Aku nggak apa-apa kok. Mungkin masuk angin sedikit.”

 

            “Benar?” Indra kelihatan ragu. Aku mengangguk. Indra kembali ke kursinya dan menyelesaikan makannya.

 

            Telingaku menangkap pembicaraan dua perempuan di meja sebelah. Ada kalimat yang menggelitik rasa ingin tahuku. Kuputuskan untuk menguping sesaat. Mumpung Indra masih asyik dengan makanannya.

 

            “Kamu yakin operasi plastik bisa menyelesaikan masalah ini?”

 

            “Yakin dong. Apalagi dilakukan di rumah sakit ternama. Mereka profesional.”

 

            “Mmmm...”

 

            “Sudah, nggak usah ragu. Biayanya memang mahal. Tapi itu tak ada artinya jika dibandingkan dengan kebahagiaanmu kelak. Gimana?”

 

            Aku menegakkan badan, menjauhkan punggung dari sandaran kursi. Operasi plastik? Apakah hal itu juga dapat menjadi jawaban untukku? Ah, tidak...tidak..Bukankah itu sebuah penipuan? Apakah aku harus membohongi Indra? Sanggupkah aku? Rasanya tidak. Ia terlalu baik. Kupikir, aku memang harus berterus-terang tentang segalanya. Aku akan mengatakan apa adanya. Soal apa yang akan terjadi dan apa yang akan menjadi keputusan Indra, sepertinya itu tak kupikirkan lagi. Sedikitpun.

 

             Tiba-tiba, semua kebuntuan di dalam benak dan hatiku, sirna seketika. Aku melihat pintu yang terkuak lebar, jalan keluar dari semua persoalanku. Bicara jujur. Yap, itu dia! Kukibaskan tangan, menghalau bayang seraut wajah lelaki di masa lalu yang sejak tadi menguntit pikiranku. Lelaki yang menciptakan noda besar atas rencana pernikahanku. Dan lelaki yang meninggalkan secuil jejak hitam atas tubuhku.        

 

            Senyumku mengembang sumringah. Kenangan hitam itu telah kucampakkan jauh-jauh. Tak ada yang harus ditakutkan. Kegugupan yang tadi mengungkungku, mencelat entah kemana. Aku mendapatkan lagi kekuatan itu. Indra terkesima melihat semangatku yang mulai naik.

 

            “Wow, sepertinya kekasihku mulai kembali ke wujud aslinya, nih..” Aku nyengir.

 

            “Sepertinya begitu tuh. Aku mau pesan makanan lagi, ah..” Aku melambaikan tangan memanggil pelayan. Tiba-tiba saja perutku terasa lapar. Lapar sekali. Aku telah mendapatkan momennya. Suapan pertama. Ya, aku akan menyuap dan memulai pembicaraan dengan kalimat, “Indra, aku pernah dinodai saat kecil oleh orang asing. Aku tak seutuh yang kau inginkan. Masih sudikah kau menikah denganku..?”

Share This Post: