LELAKI PILIHAN

Aku harus jatuh cinta dan secepatnya menikah!

    Demikian aku mengawali pagi yang cerah ini -matahari bersinar lebih sumringah ketimbang kemarin- dengan sebuah keputusan. Ini keputusan penting dan mendesak. Ya, aku harus secepatnya menemukan sosok yang bisa membuatku jatuh cinta sekaligus mempersuntingku dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Bisa dibilang, keputusan ini harus ditindaklanjuti ASAP, as soon as possible..

    Semua berawal dari ibu. Ya, ibuku. Beliau -perempuan yang selalu mengalirkan kasih dan sayangnya padaku- menagih janjiku padanya. Janji yang pernah kuucapkan empat tahun silam. Saat itu ibu menanyakan, kapan aku akan menikah? Lalu kujawab, tahun depan. Ibu manggut-manggut.

    Tahun berikutnya, ibu menagih janjiku. Kuminta ia bersabar hingga tahun berikutnya. Aku belum menemukan lelaki yang sesuai, dalihku ketika itu. Ibu kembali manggut-manggut.

    Aku hanya bisa lega sampai sebelas bulan. Karena begitu tahun kembali berganti, ibu menanyakan lagi hal yang sama. Aku  kembali mengulur waktu. Ibu sedikit marah. Ia menceramahiku tentang betapa cepatnya waktu berlalu dan usiaku yang tak lagi muda. Kata ibu, tak baik seorang perempuan terlalu jual mahal dan pilih-pilih. Setinggi apapun jabatan pekerjaannya. Namun aku mendebat kata-kata ibu, karena kali ini aku benar-benar tak sependapat dengan beliau.

    "Sedikit jual mahal dan pilih-pilih tetap diperlukan, Bu. Kita kan sedang membicarakan sebuah pernikahan. Aku ingin seperti Ibu dan Ayah, yang terpisah hanya oleh kematian. Dan mencari orang yang seperti Ayah, tentu bukan hal mudah." Ibu menghela nafas.

    "Kau akan menemukannya dengan mudah, kalau kau benar-benar membuka hatimu. Biarkan hatimu yang menunjukkan dan menuntunmu pada seseorang yang istimewa itu," ujar Ibu. Aku terdiam, tak hendak membantah lagi.

    Toh, aku kembali ingkar menepati janji itu di tahun lalu. Sekarang, kalender baru telah menempel di dinding rumahku. Ibu melirik sekilas sembari mengembuskan nafas panjang.

    "Kenapa, Bu?" tanyaku menguji. Ia menggeleng perlahan.

    "Tidak apa-apa. Kalendermu bagus." Ibu mengucapkannya dengan suara mengambang. Aku memilih untuk tak berkomentar lebih lanjut.

    Lalu, datanglah hari itu. Hari dimana ibu terjatuh di kamar mandi, dengan kepala terhempas ke atas keramik lantai. Untuk beberapa korban muda, tentu hanya akan mengalami sedikit memar dan benjol, atau paling jauh pendarahan ringan. Namun, untuk ibuku yang telah berusia lanjut, itu sungguh sebuah kecelakaan fatal. Ibu tak sadarkan diri hingga dua hari. Saat terbangun, kondisinya benar-benar lemah. Bahkan sekujur tubuhnya tak lagi dapat beranjak dari pembaringan. Ibu lumpuh.

    "Menikahlah," pinta Ibu dengan suara lemah, menatapku penuh harap. Aku gagu. Bagaimana mungkin aku bisa menampik permintaan itu. Ibu sakit dan permintaan itu telah kuulur selama empat tahun.

    "Kau harus menuruti permintaan Ibu," kata Mas Iksaka, yang dengan cepat diamini oleh Mbak Rindu dan Mas Attar. Mereka bertiga adalah kakak-kakakku. Dan semuanya telah menikah, bahkan telah memiliki beberapa orang anak.

    "Ya, Btari. Kamu harus menikah. Ibu bersungguh-sungguh dengan permintaannya. Akankah kau abaikan juga kali ini?" Mbak Rindu bertanya tajam. Aku tersudut.

    "Jangan sampai kau akan menyesalinya kelak karena tak menurut," imbuh Mas Attar. Ah, mengapa mereka ikut-ikutan menambah bebanku?

    Namun, setelah berfikir ulang dan mengkaji usiaku yang nyaris mendekati kepala tiga, mau tak mau aku harus mengakui bahwa tak baik aku berlama-lama sendirian. Tak mungkin sampai tua aku hanya menghabiskan waktu dengan urusan kantor saja. Betapa keringnya jiwaku kelak bila itu kulakoni. Jujur, aku juga rindu menimang seorang bayi. Tapi, ayahnya saja belum kutemukan, bagaimana mungkin bayi itu bisa kutimang, desahku tertahan.

    Maka, keluarlah keputusan itu. Aku harus secepatnya menemukan belahan jiwaku dan jatuh cinta setengah mati kepadanya.

    Mencari calon suami, tentu tak semudah mencari kerikil di jalanan. Aku bingung, darimana harus memulainya. Aha, mendadak aku teringat sesuatu. Mengapa harus jauh-jauh? Aku toh bisa memulainya dari lingkunganku. Setelah berfikir dan menimbang-nimbang, akhirnya pilihanku jatuh pada tiga orang lelaki.

    Yang pertama, Zaki. Dia lelaki yang memburu cintaku setahun belakangan ini. Bukan orang jauh. Dia manager keuangan di tempatku bekerja. Orangnya sangat perhatian. Lantas, kenapa selama ini aku tak pernah tersentuh oleh semua perhatiannya? Entahlah, akan kucermati kemudian.

    Begitulah, aku mulai membuka diri untuk Zaki. Aku menyambut berbagai perhatiannya. Mulai dari sms, telepon, karangan bunga, nonton, ajakan makan di tempat-tempat romantis dan sebentuk cincin bermata berlian yang melingkar di jari manisku.

    "Aku memberikan ini bukan untuk mengikat gerak-langkahmu. Hanya sekedar ingin meyakinkan diriku, bahwa kau benar-benar menginginkanku," kata Zaki seusai memasangkan cincin itu di suatu senja, pada sebuah pantai. Aku tersenyum dan mengangguk. Senang? Tentu. Tapi tunggu dulu, mengapa debar-debar itu tak sedikitpun terasa di hati?

    Lalu, kehambaran datang dengan cepat di suatu siang, ketika Zaki membawaku ke sebuah rumah yang belum selesai dibangun. Ia terlihat bahagia. Membukakan pintu mobil dan menggandengku memasuki ruang demi ruang yang ada.

    "Lihat, ini dapur yang kurancang untukmu. Luas, bukan? Kau akan leluasa memasak berbagai makanan lezat untukku dan anak-anak di sini. Juga ada ruang cuci dan jemur. Sengaja tak kuletakkan di lantai dua, agar kau tak terlalu lelah. Lalu, di belakang sini, akan ada lahan untukmu bercocok tanam. Berbagai buah dan tanaman bermanfaat bisa kau tanam di sini, menghemat pengeluaran belanja....." Dahiku berkerut mendengar penjelasannya. Ada sesuatu yang samar namun dapat kutangkap dengan jelas.

    "Zaki..." Selaku kemudian.

    "Ya?"

    "Apakah...apakah kau berpikir aku akan berhenti bekerja?" Aku menatapnya penuh selidik. Zaki sedikit heran menyimak ekspresiku.

    "Ya. Bukankah begitu seharusnya? Aku mampu membiayai seluruh kebutuhan kita, juga anak-anak kelak.." Aku terkesima. Astaga, dia sudah memutuskan? Tanpa menanyaiku dan memberikan ruang diskusi untuk itu? Menyikapinya, aku tiba pada satu kesimpulan. Kami tak cocok. Aku bahkan belum jatuh cinta padanya!

    Aku menjajagi kemungkinan kedua, Fahri. Dia teman facebook-ku. Ia selalu mengomentari apapun bentuk statusku. Komentar-komentarnya selalu segar dan mengundang tawa. Fahri tipe cowok humoris. Dan aku tahu, ia berusaha menarik simpatiku melalui berbagai cara. Kurasa, tak salah untuk mencoba.

    Sebelumnya, aku dan Fahri sudah kerap bertemu. Fahri bekerja di gedung yang bersebelahan dengan gedung kantorku. Sehingga tak mengherankan bila terkadang kami berpapasan tak sengaja.

    Begitulah; aku menerima cinta Fahri dan mulai menjalani hari-hari bersamanya. Kukira, benih-benih cinta itu akan tumbuh dengan cepat sejalan dengan canda-canda Fahri yang mengalir bagai air sepanjang waktu. Tapi, aku salah. Rasa jenuh malah menghampiri lebih cepat dari yang kuprediksi. Bercanda tak kenal waktu dan situasi, acap membuat kami terjebak dalam pertengkaran.

    "Kamu terlalu sensitif,  Btari." Tudingnya di suatu siang, pada pertengkaran kami yang entah sudah keberapa kalinya dalam seminggu ini. Aku meradang.

    "Aku bukannya sensitif, Fahri. Tapi bercanda juga ada waktunya. Dan tak semua hal harus disikapi dengan canda. Hidup ini kan, bukan permainan semata."

    "Kamu kan sudah tahu betul bagaimana aku. Jadi seharusnya, salah paham yang tak penting tak perlu dibesar-besarkan." Ujarnya menyesalkan. Aku menatapnya dengan lelah.

    "Kita seperti siang dan malam, Fahri," keluhku putus asa. "Terlalu jauh berbeda." Fahri diam, sepertinya mengamini pendapatku. Lalu, kami memutuskan untuk berhenti. Perjalanan kami tak bisa diteruskan. Sayang, padahal aku mulai merasa jatuh cinta padanya.

    Pilihan ketiga, jatuh pada Bumi. Sebenarnya, aku tak begitu menyukainya. Tapi wajahnya yang tampan dan puisi-puisinya yang begitu menyentuh, perempuan mana yang akan mengabaikan? Begitu pula aku. Saat Bumi datang padaku, mengisi jam-jam istirahatku dengan secarik kertas wangi berhiaskan bait-bait puisi yang diletakkannya di atas meja kerja, aku merasa Bumi bisa menjadi sosok istimewa untukku.

    Aneh, bersama Bumi yang begitu memesona, aku bukannya merasa nyaman. Aku malah dilanda gelisah. Setiap saat mencermati wall facebook-nya, menelusuri penuh curiga salam-salam mesra dari para penggemarnya. Diburu cemburu saat menggandengnya di mall, mendapati matanya jelalatan dan senyumnya tertebar ke para perempuan yang berseliweran. Menguping pembicaraan teleponnya yang senantiasa dipenuhi derai tawa. Aih, ini baru pacaran. Seandainya bersuamikan dia, kupikir aku harus terjaga sepanjang waktu dan menjadi satpam untuknya. Ah, tidak...tidak! Aku tak ingin hidup seperti ini! Hidup yang didera gelisah dan curiga. Untuk apa?

    Demikianlah; kami putus dengan baik-baik. Bahkan Bumi menitikkan airmata dan menyempatkan diri untuk menuliskan sebait puisi patah hati untukku.

    Lantas, menangislah aku sore ini di samping ranjang ibu, di rumah sakit. Beliau menatapku dengan haru. Aku tak menceritakan apapun padanya. Namun, seorang ibu pastilah mampu merasakan apa yang tengah dirasakan anaknya. Khususnya kegalauan. Susah-payah ibu menggeser tangannya untuk membelai rambutku. Aku meraih tangan ibu dan menggenggamnya erat.

    "Ibu, maafkan Btari. Btari sudah berusaha. Tapi orang yang tepat itu belum menampakkan dirinya." Ibu tersenyum samar. Aku tak mengerti artinya. Namun aku yakin, Ibu masih memiliki cukup kesabaran untuk menunggu janjiku. Kuhabiskan waktu kunjungan kali ini untuk merebahkan kepala di sisi ibu.

    Tibalah hari itu. Hari yang membuat aku benar-benar sport jantung. Hari ketika pihak rumah sakit mengabarkan kondisi ibu yang menurun dan harus segera masuk ruang ICU.

    Aku berlari sepanjang koridor rumah sakit, berharap secepatnya tiba di depan ruangan ibu. Di sana telah berkumpul ketiga kakakku, yang mondar-mandir dengan gelisah. Wajah mereka memucat. Hatiku berdegup tak tentu irama.

    Seseorang datang. Langkahnya cepat namun terukur. Wajahnya serius namun masih memancarkan senyum. Sosok itu keluar dari ruangan ibu. Ia mengenakan jas putih yang cemerlang, seimbang dengan kilau geliginya saat mengeluarkan sapa.

    Ketiga kakakku memburunya segera.

    "Bagaimana, Dokter? Kondisi Ibu, baik-baik sajakah?" Lelaki itu terdiam sesaat sembari mengedarkan pandangan. Sedetik jatuh padaku.

    "Tidak begitu baik. Tapi akan kami usahakan yang terbaik untuk beliau. Bersabar dan berdo'alah." pintanya dengan penuh wibawa. Aku mencibir. Klise. Kurasa, kalimat seperti itu telah diajarkan oleh para dosen untuk mahasiswanya di faluktas kedokteran sejak semester satu. Sehingga mereka melafalkannya nyaris tanpa cela.

    "Tak adakah kalimat lain yang lebih menenangkan, Dokter?" tanyaku sinis. Ia berpaling ke arahku. Sepasang alisnya bertaut. Tapi ia tak berkomentar. Hanya tersenyum sekilas, sebelum mengangguk pamit dan berlalu meninggalkanku yang masih mangkel.

    Hari melaju dengan lambat. Berita baiknya, kondisi ibu berangsur membaik. Pihak rumah sakit segera memindahkan ibu ke ruangan. Bergantian aku dan kakak-kakak menjaga ibu. Porsi terbanyak jelas bukan padaku, karena kesibukan kantor menyita lebih dari separuh hari yang kumiliki. Dokter yang merawat ibu, masih lelaki yang kutemui di depan ruang ICU itu. Kami kerap bertemu, meski minim pembicaraan. Tak lain hanya seputar kesehatan ibu.

    Begitu ibu dipindahkan, kakak-kakakku semakin mendesak agar aku secepatnya mencari pendamping. Aku hanya bisa mengangguk lemah, menyimpan rasa dongkol di dalam hati. Dimana aku bisa menemukan lelaki keempat -sekaligus lelaki pilihan- pembawa benih cinta itu?

    Sore ini, aku menjenguk ibu. Kuputuskan untuk membawa Rey, lelaki yang baru tiga hari ini kudekati. Dulunya, ia asisten dosen di kampusku. Kami bertemu tanpa sengaja di sebuah mal. Kuputuskan untuk mencoba menempatkannya sebagai lelaki istimewa itu, tentunya tanpa setahu Rey. Aku tak yakin tentang perasaannya, meskipun ia meneleponku nyaris setiap jam. Tepatnya, lima menit dalam setiap jam.

    Sebagai seorang lelaki, kupikir Rey lumayan lah.. Kali ini aku akan berusaha lebih keras untuk menumbuhkan rasa cintaku padanya. Kucari hal-hal yang kusenangi dari dirinya dan kusingkirkan jauh-jauh hal-hal yang membuatku ilfil. Aku mencoba menutup mata untuk kekurangannya. Bukankah dirikupun jauh dari sempurna?

    Di ruangan ibu, dokter Helmy (itu nama yang tertera di badge jas putihnya) tengah mengukur tensi, memeriksa denyut nadi, juga mengamat-amati tabung infus. Aku tak hirau dengan kehadirannya. Senyumku melebar saat mendapati ibu yang terlihat mulai bugar. Tak sepucat sebelumnya.

    "Ibu, aku datang bersama seseorang." bisikku di telinga ibu. Dokter itu pasti mendengar ucapanku, karena ia berdehem lumayan keras sesaat setelah kuselesaikan kalimatku.

    "Calon menantu..," gumamnya dengan nada yang jauh dari tulus. Aku menatapnya marah. Untunglah, Rey masih menunggu di luar. Kalau tidak, wajah jelekku saat marah begini pasti akan menyurutkan keinginannya meminangku.

    "Apa hak kamu ikut mengomentari?" sergahku tak senang. Dokter itu tertawa lebar, tanpa suara. Ia mengedikkan bahu.

    "Lucu saja." Aku semakin marah.

    "Lucu? Ibuku menitipkan harapannya padaku dan aku berusaha menyenangkan hatinya. Apanya yang lucu?" tukasku sedikit kasar.

    "Kamu seperti anak-anak saja. Memangnya, mencari pasangan hidup itu semudah mencomot pisang goreng. Gigit sedikit, tak enak buang. Enak, dilanjut. Begitu? Phuaah, kuliah dimana sih dulu?" Aku merengut. Kok jadi bawa-bawa almamater, sih?

    "Lha, memangnya?!" hardikku seraya bertolak pinggang. Dokter bergigi kemilau itu meletakkan telunjuknya ke bibir, memintaku diam.

    "Mencari pasangan itu dengan mata hati, baru ketemu." Aku melotot. Jemari ibu terlihat bergerak. Aku cemas.

    "Kenapa Ibu?" tanyaku panik.

    "Tidak apa-apa. Beliau sudah mulai kuat, tak ada yang perlu dikuatirkan."

    "Yakin?" Aku mencari kesungguhan di sepasang mata yang berpendar di depanku. Ia mengangguk.

    "Tak percaya, ya? Rasanya, kamu selalu sinis dan curiga, ya?"

    "Aku tak begitu percaya dengan dokter. Terkadang, kalian mengarang-ngarang sesuatu untuk memberikan efek dramatis terhadap suatu penyakit tertentu. Juga berharap pasien yang ditangani takkan cepat sembuh." Akuku jujur.

    "Kau gila!" desisnya. Aku angkat bahu.

    "Bisa jadi." Tangan ibu kembali bergerak, mendekati jemari dokter Helmy di sisi ranjang. Sulit sekali rasanya melihat ibu berusaha begitu kuat meraih jari manis dokter Helmy. Begitu dapat, ibu menggenggamnya erat. Dokter Helmy terlihat gugup. Aku mengernyitkan dahi dengan bingung. Ada apa ini? Pandangan mata ibu bergantian menyapuku dan dokter Helmy. Aku mengamati dengan bingung. Apa-apaan ini?

    Tiba-tiba saja, detik itu juga, jantungku berdegup kencang. Rona merah menjalari wajahku. Aku jadi salah tingkah. Hatiku berbisik lembut, menyampaikan sebuah pesan lewat partikel halus tak terlihat. Lembut sekali. Hanya bisa tertangkap benak. Aku menatap lelaki di depanku. Sesaat, pandangan kami bertemu. Hatiku terus berbisik, hingga benakku menanamnya dengan kokoh. Sepertinya...., ah sepertinya aku telah menemukan lelaki ekstra spesial itu!.

Share This Post: